06 || Memenuhi Genggaman

35 1 0
                                    

You are a dandelion of yellow flowers
You stay in my heart and then you disappear
After looking upa t the sky for a long time
Now I want you to stay here

—BOL4, Dandelion

***

Di sela-sela menyelesaikan pekerjaan kantor, Astri mencoba mengatur ulang rencana keuangan bulanan keluarganya. Sayangnya, ia terpaksa mengurangi jatah pos family time. Dalam hitungan kasar di coretan tak beraturan sebelah kanannya, apabila keluarganya mengurangi rutinitas main dan makan di luar rumah setiap minggu, hal itu bisa menekan pengeluaran. Lagi pula, family time tidak harus ke luar rumah. Ia sekeluarga bisa menghabiskan waktu di rumah beristirahat dan memasak bahan-bahan makanan yang tersedia. Begitu pula dengan pos keuangan kebutuhan sekolah Kiran. Astri sampai mengecek sepatu, seragam, dan kebutuhan utama lain yang syukurnya, masih dalam kondisi baik.

Mungkin orang lain berpikir kalau Astri pelit dengan keluarganya. Namun, sebenarnya perempuan bertubuh mungil dengan mata yang lebar itu hanya mengalihkan dana ke pos keuangan lain yang dirasa lebih mendesak seperti dana darurat untuk pengobatan Bapak. Di sisi lain, ada keraguan yang terselip dalam hatinya. Keraguan itu justru membuat Astri semakin bingung hingga ia pun memilih untuk mengabaikan tanda dari dalam hatinya.

Astri tidak banyak bicara di rumah. Ia tetap memasak makan malam dan membersihkan rumah sepulang kerja, tetapi sangat jelas kerutan tampak di wajahnya—dahi, dagu, bibir yang cembung ke atas—dan helaan napas panjang berulang kali. Sedikit banyak ia bersyukur karena Kiran dan Zayd tidak bertanya apa-apa dan tetap berperilaku seperti biasanya. Hanya saja, ia juga merasa butuh ditanyakan.

Apakah anak-anaknya tidak peduli dengan dirinya?

Sesekali terlintas kalimat itu dalam batin Astri, yang kemudian dilawan oleh bisikan lain bahwa kondisi tanpa pertanyaan justru bagus karena ia tidak perlu menggunakan banyak energi untuk menjelaskan.

"Air angetnya udah mateng, bisa langsung mandi, ya, Mas," ujar Astri saat Rendi sampai di rumah bersamaan dengan iqomah magrib dari masjid komplek.

Satu kalimat panjang itu keluar, lalu Astri mulai menyiapkan makan malam dan memanggil anak-anaknya.

"Kiran nggak makan di sini?" tanya Astri saat putri bungsunya berjalan menjauh dari meja makan setelah mengambil dua piring nasi, tumis kangkung, dan tempe yang menjadi menu malam itu.

"Mau sekalian ngerjain PR, Bun. Sama Mas Zayd juga di kamar, ya."

Astri hanya mengangguk dan duduk di depan meja makan sendiri, menunggu suaminya selesai mandi agar mereka bisa makan bersama. Saat itu, dadanya semakin terasa berat dan matanya mulai memanas. Hawa malam yang juga panas, justru dirasakan sebaliknya oleh tubuh Astri. Ia sedikit kedinginan.

"Lho, sendiri aja?" Rendi mengangkat alis saat melihat hanya ada Astri yang duduk di meja makan.

"Anak-anak sambil ngerjain tugasnya itu di kamar. Biarin aja, mungkin ngejar deadline. Mas langsung makan? Aku ambilin, ya?"

Rendi mengangguk dan duduk manis di kursi sebelah istrinya.

Meski tidak benar-benar melihat, Astri bisa merasakan bahwa suaminya menatapnya intens. Entah dengan tatapan mata seperti apa, tetapi rasanya Astri seperti diawasi CCTV. Ia berusaha tidak peduli dan tetap bersikap tenang walau ada sebuah desakan yang menyesakkan muncul tiba-tiba dari dadanya. Rasanya seperti ingin menangis, tetapi menangis untuk apa?

"Gimana di kantor?" Rendi akhirnya memulai percakapan setelah makanan terhidang di depan keduanya.

"Nggak ada apa-apa. Rutinitas biasa aja. Oh, ya, Mas. Aku udah bikin rencana keuangan baru. Mau liat?"

Pasir Dalam GenggamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang