When did it start?
This problem that can't be solved
It's homework that no one ever assigned me
Before I could memorize the formulas that materialized before me
I had no chance to decide on what answer to give—Stray Kids, Mirror
***
Rendi baru saja akan duduk dan menonton berita terbaru di televisi ketika Astri mengajaknya berbicara di kamar. Sedikit banyak, Rendi bisa menduga hal yang ingin disampaikan oleh istrinya itu, terlebih saat ia pulang kerja dan merasakan atmosfer yang janggal di dalam rumah. Seolah ada dua kehidupan yang terpisah tembok ego masing-masing, seolah ada hangat yang membeku dan membuat suasana semakin dingin.
"Mas, kayaknya aku perlu nyiapin pos keuangan baru." Astri membuka percakapan tanpa basa-basi.
"Buat Bapak?"
Astri mengangguk. "Tadi Mas Ilham bilang kalo Bapak harus rawat inap dulu buat dipantau. Bapak maunya pulang, sih. Tapi, Mas Ilham masih takut buat biarin Ibu sendiri jagain Bapak."
"Biasanya, kamu juga masih sering ngirimin tambahan uang buat Mas Ilham sama anaknya, kan? Itu belum masuk pos keuangan bulanan?"
"Ada, sih. Tapi, yang ini beda. Kalo yang itu kan buat tambahan kebutuhan Mas Ilham, Bapak, Ibu, sama sekolahnya Asya. Ini buat pengobatan Bapak sewaktu-waktu diperlukan."
Rendi sudah membuka mulutnya untuk menanyakan satu hal terakhir, tetapi ia urungkan. Tampaknya, pertanyaan itu tidak etis ditanyakan pada kondisi saat ini. Ia pun terdiam dan memikirkan pertanyaan lain untuk menguatkan keyakinannya mengiyakan atau menolak permintaan Astri.
"Tapi, Mas. Kayaknya kali ini aku nggak minta izin. Tapi, aku ngasih tau Mas Rendi aja kalo aku ada rencana untuk itu."
Entah Astri bisa membaca isi pikiran Rendi atau tidak, tetapi yang dikatakan Astri benar. Sejak awal, ia bukan minta izin, tetapi memberitahu. Itu sebuah pemberitahuan.
"Ya, udah. Aku percayain ke kamu aja. Aku yakin kamu tetep tahu prioritas, dalam hal keuangan, waktu, pun perhatian."
Astri tersenyum. "Makasih, ya, Mas," ujarnya lalu keluar kamar dan meninggalkan Rendi yang masih terpaku di tempatnya.
Entah mengapa, ada perasaan tidak nyaman yang hari di sudut hati Rendi. Satu sisi, ia paham bahwa istrinya khawatir terkait kondisi bapak mertua. Hanya saja, pemberitahuan itu seolah-olah bapak mertuanya akan terus menerus sakit dan tentu saja ia tidak menginginkan hal itu. Bukan karena masalah keuangan, tetapi ia tidak tega pada istrinya.
Belum lagi, hal-hal lain yang perlu menjadi tanggungan mendadak istrinya seperti permintaan Nita soal tas kemarin. Bukan pertama kali Nita meminta sesuatu dari istrinya. Beberapa tahun lalu, adik iparnya itu pernah meminjam uang dari istrinya dengan alasan untuk memperbaiki atap rumah dan pintu kamar mandi.
"Bocor di mana-mana, Mbak. Suamiku belum settle, uangnya ngepas buat makan sehari-hari. Kasian Fawaz sama Manda kalo tidur terus hujan, pasti kena tetesan terus. Pintu kamar mandi juga nggak bisa ditutup. Rencananya mau kuganti yang aluminium biar nggak dimakan rayap. Pinjem ya, Mbak. Ntar aku balikin kalo Mas Genta udah agak stabil kerjaannya."
Saat itu Rendi tidak bisa menolak karena kerutan di wajah istrinya sungguh menampakkan kecemasan dan membuatnya tidak tega. Jika ia berada di posisi istrinya, mungkin ia pun akan tergerak untuk membantu meski tetap melakukan banyak pertimbangan. Berbeda dengan Astri yang tanpa banyak pertimbangan langsung ingin mengirimkan sejumlah uang.
"Rejeki dari Allah, ntar juga balik lagi ke kita. Nggak apa-apa, ya, Mas?" ujar Astri saat itu.
Bagaimana bisa Rendi mengelak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasir Dalam Genggaman
Fiksi Umum"Menggenggam kuat membuatku kehilangan segalanya, tetapi melepasnya membuatku tak memiliki apa-apa" Menjadi istri, ibu, kakak, dan anak di saat bersamaan bukanlah peran yang mudah bagi Astri. Pikirnya, menjadi wanita karir dapat membantu meringankan...