02 || Titik Hitam Pertama

57 7 0
                                    

If I fall asleep lightly from your nicе touch
Just let me stay for a moment
Don't wakе me up

IU, Knees

***

Rendi enggan mengakuinya, tetapi hatinya serasa ditusuk sebuah benda tajam saat Astri membatalkan rencana untuk membelikan tas sebagai hadiah ulang tahun si bungsu, Kiran. Hanya saja, ia tidak bisa berkata apa-apa karena ia pun mengerti kondisi perekonomian Nita, adik pertama Astri.

Beberapa tahun yang lalu, Nita sempat sesak napas parah yang membuatnya harus berhenti bekerja. Suami Nita yang hanya seorang wirausahawan pun kesulitan bekerja karena harus mengurus Nita yang bahkan untuk berdiri saja sulit karena bisa tiba-tiba sesak napas. Rendi dan Astri turut membantu biaya pengobatan karena hanya itu yang bisa mereka lakukan. Setelah membaik, Nita memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan mendukung suaminya yang mencoba mencari pekerjaan lain. Saat ini, mereka sedang mulai merintis kestabilan ekonomi lagi. Jadi, Rendi tidak heran jika terkadang Nita meminta bantuan Astri dalam bentuk uang agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebagai suami, Rendi selalu berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab, baik dalam memberi nafkah lahir-batin, pun dalam pengasuhan anak. Ia tidak pernah absen untuk menghabiskan waktu dengan anak-anaknya karena itu sudah menjadi komitmen di awal pernikahan bersama Astri. Komitmen lainnya adalah membiarkan Astri bertanggung jawab atas keuangan keluarga. Oleh karenanya, Rendi selalu menyerahkan pendapatan bulanan pada Astri. Seluruhnya. Nantinya, Astri-lah yang akan membagi pendapatan gabungan mereka ke dalam pos-pos kebutuhan bulanan.

Rendi percaya pada Astri, tentu saja, selain karena wanita itu adalah istrinya, ia tidak pernah mendapati Astri menggunakan uang diam-diam. Istrinya itu selalu memberitahunya ke mana saja uang keluar ditujukan, termasuk uang hasil pendapatan bulanan Astri. Walaupun Rendi pernah bilang kalau gaji Astri sepenuhnya menjadi hak sang istri dan bebas digunakan untuk apa pun, Astri tetap memberitahu dirinya. Kepercayaan itu sudah terlalu dalam ada dalam hubungan keduanya sejak awal pernikahan.

Maka, mendapati Astri yang ingin menggunakan uang bonus untuk membantu adiknya dibanding membelikan tas bagi anak mereka menjadi sesuatu yang tak dapat dibantah oleh Rendi. Itu hak Astri. Ia bebas menggunakannya untuk apa saja.

Akan tetapi, tetap saja. Ada kesedihan dan rasa perih yang menggeliat di lubuk hati Rendi yang paling dalam.

Setelah mereka batal membeli tas untuk Kiran, Rendi dan Astri menyusul anak-anak mereka di toko buku yang terletak di lantai 1—mereka harus turun dua lantai untuk bisa menuju ke toko buku. Lucunya, dalam perjalanan menuju toko buku tidak ada yang memulai pembicaraan. Baik Rendi maupun Astri sama-sama diam seribu bahasa dan hanya menggerakkan kepala mereka untuk melihat toko-toko yang dilewati.

"Aku nyusul Kiran ke rak belakang ya, Mas," ujar Astri setelah keduanya sampai di depan toko buku.

Rendi hanya mengangguk dan melihat punggung Astri berlalu. Ia pun memanfaatkan tubuh tingginya untuk mencari tanda-tanda Zayd. Alisnya terangkat saat ia melihat anak laki-lakinya itu muncul di antara rak-rak buku sosial dan manajemen dengan langkah pelan dan mata yang tertuju pada jajaran buku di sana.

"Cari buku apa?"

Zayd menoleh ke sumber suara. Matanya terlihat bergerak melihat ke sisi kanan dan kiri dari tubuh Rendi, lalu berbisik, "Ayah bukannya mau beli tas buat Kiran?"

Bohong jika jantung Rendi baik-baik saja. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian, jantungnya serasa berhenti mendapat pertanyaan itu. Namun, ia berusaha tenang dan memasang wajah pura-pura tidak tahu. "Kata siapa?"

Pasir Dalam GenggamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang