When I have to overcome things on my own
but I don't even have the strength
to lift my head on my way home—109, You Don't Have to be a Star
***
Sabtu pagi kali ini diawali dengan udara dingin yang sedikit menusuk. Di kamar masing-masing, kedua anak Rendi dan Astri masih bergumul dalam selimut walau waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Sedangkan Rendi, seperti biasa, sudah siap di luar dengan memanaskan motor, menemani Astri yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Keduanya tidak banyak bicara. Hanya suara dari knalpot motor dan desisan minyak yang berisi tempe tepung, lauk untuk sarapan pagi ini.
Setelah sarapan siap, Astri pun membangunkan anak-anaknya. Awalnya hanya mengetuk pintu kamar, tetapi ketika tak kunjung ada sahutan, ia lantas masuk ke kamar anak perempuannya yang tak dikunci itu.
"Ayo, bangun. Udah siang! Perawan jangan bangun siang-siang," ujar Astri sembari membuka gorden kamar Kiran.
Si bungsu yang masih mengumpulkan nyawa terlihat masih menggeliat di kasurnya dengan mata tertutup.
"Ayo, sarapannya udah siap."
"Bun," lirih Kiran dengan suara serak, "hari ini kita ke luar nggak?"
Astri ingin menjawab, tetapi ia pura-pura tidak dengar dan langsung keluar dari kamar si bungsu. Ia lantas mengetuk kamar sulungnya, Zayd, yang ternyata sudah bangun dan sudah menyisir rambutnya rapi. "Kirain masih tidur."
"Aku belum tidur dari jam tiga, Bun."
"Kok bisa? Ngerjain skripsi?"
Zayd mengangguk, lalu menguap.
"Ya, udah. Makan dulu, yuk."
Astri dan Zayd bersama menuju meja makan. Sudah ada Rendi di sana yang sedang membalas pesan-pesan di ponselnya. Meja makan berbentuk oval itu tidak penuh dengan makanan. Pagi ini, sarapan disponsori oleh tempe goreng, sambal, dan tumis kangkung. Kiran menjadi yang paling terakhir tiba di meja makan dengan wajah yang masih setengah basah karena kebiasaannya untuk mencuci muka setiap setelah bangun tidur.
"Ih, dingin banget airnya!" seru Kiran sambil menggosok-gosok telapak tangannya.
"Nanti habis ini berjemur aja. Dingin-dingin juga itu mataharinya masih keliatan. Nggak mendung berarti." Rendi menanggapi.
"Nah, mumpung cerah, kita mau jalan-jalan nggak hari ini?" Kiran bertanya, lalu menyuap sarapannya.
"Kan udah ke luar waktu kamu ulang tahun."
"Ya, itu kan udah seminggu yang lalu. Biasanya kita tiap minggu keluar."
"Dingin enaknya di rumah," timpal Astri.
"Yah, Bunda nggak mau ke luar gitu?"
"Emang mau ke mana, sih?"
"Jalan-jalan aja, kayak biasa makan di luar, apa ke toko buku. Biar Bunda istirahat masak."
"Ah, lebih capek main ke luar. Bunda mending masak aja. Lagian, Mas Zayd belum tidur itu dari jam 3. Biarin istirahat dulu."
Usai Astri bicara demikian, meja makan mendadak hening. Kiran bertukar pandang dengan Zayd yang hanya mengangkat alis dan ia pun menundukkan kepala, fokus pada makanan di depannya. Kiran juga mencoba melihat ke arah Rendi yang duduk bersebrangan dengannya, tetapi ayahnya itu sedang fokus melihat layar ponsel yang diletakkan di sebelah kanan piring.
Astri sendiri tetap diam. Kalaupun anak-anaknya bersikeras untuk jalan-jalan ke luar, ia tetap akan mencari alasan supaya tidak perlu ke mana-mana. Bukannya tidak mau, tetapi Astri perlu sedikit tega pada anak-anaknya kalau ia mau menjaga agar keuangan keluarga bisa tetap stabil dan sesuai rencana.
Lagi pula, Astri juga perlu mengajarkan pada anak-anaknya kalau tidak selamanya menghabiskan waktu bersama keluarga harus ke luar rumah. Di dalam rumah pun mereka bisa tetap mengisi family time dengan lebih efektif dan lebih dekat.
***
Kiran pikir, penolakan bundanya untuk menghabiskan waktu keluarga di luar rumah hanya sesekali saja. Ia sedikit banyak bisa memahami kalau bundanya lelah karena pekerjaan, pun karena tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang tetap harus mengurus rumah. Ayahnya sudah membantu. Kiran dan kakaknya pun sering membantu bunda mereka mengurus rumah. Yah, mungkin bundanya bosan jika terus menerus main ke luar rumah.
Namun, Kiran semakin merasa aneh ketika bundanya lebih sering menolak ajakannya untuk pergi ke luar.
"Bunda capek, nih. Besok lagi aja, ya."
"Aduh, mendung Kiran. Nanti kalau hujan, ribet ini pakai jas hujan segala macem."
"Kamu nggak ada tugas? Itu Mas Zayd keliatannya capek, deh. Kita di rumah dulu aja, ya."Dan berbagai alasan lain yang penting mereka sekeluarga tidak ke luar rumah. Meski Kiran sudah berusaha mengerti dan bernegosiasi--terutama jika bundanya membawa nama kakak atau ayahnya--tetap saja keputusan bundanya sulit untuk diubah.
Pernah satu waktu akhirnya Bunda mengalah dan mau diajak main ke luar. Namun, sepanjang waktu, Kiran bisa melihat wajah Bunda tidak senang, lebih banyak melihat ke ponsel, dan sering berkata, "Udah? Yuk, pulang," seolah-olah menunjukkan rasa tidak betah berada terlalu lama di luar rumah.
Kiran mulai merasa bundanya berubah. Terlebih lagi, beberapa hari terakhir bundanya sering mendapat telepon dari Tante Nita dan Pakde Ilham.
"Mas, lagi sibuk nggak?" Kiran membuka kamar kakaknya dan mendapati sang kakak sedang menutup wajah dengan kedua tangan.
"Hm? Lagi mikirin skripsi. Kenapa, Dek?"
Kiran mengembuskan napas panjang. Dahinya berkerut, tetapi ia tidak ingin menunjukkannya pada sang kakak sehingga ia menunduk.
"Em ...," Kiran menimbang-nimbang, apakah ia harus melakukannya sekarang? Apakah dia malah akan mengganggu kakaknya yang sedang mengejar supaya bisa sidang skripsi bulan depan? Atau lebih baik ia diam dan bersikap seolah tidak ada apa-apa?
Kiran pun mendengar suara laptop ditutup. "Mas udahan ngerjain skripsinya?"
"Sini. Kamu kalo dibiarin nggak lama nangis di pintu. Jelek," ledek Zayd yang kemudian memutar kursi belajarnya ke arah pintu.
"Ih, nyebelin!" Kiran masuk kamar kakaknya dan duduk di pinggir kasur dengan bibir maju dua senti. "Mas, Bunda kenapa, sih?"
"Hm? Kenapa apa?"
"Mas emangnya nggak ngerasa Bunda berubah?"
"Oh, gara-gara nggak mau diajak ke luar?"
"Nggak cuma itu. Akhir-akhir ini, Bunda sering bilang ke aku buat nabung, atau uang jajan jangan dihabisin biar bisa nabung, dan sebagainya. Ya, aku juga nabung, sih, dikit-dikit. Ngeliat Bunda suka bagi-bagi pos keuangan itu aku juga sedikit banyak belajar. Biar kalo butuh apa-apa nggak perlu minta atau ngerepotin Bunda."
"Oh, ya?"
"Mas, ini rahasia, tapi aku juga jualan di sekolah."
"Jualan apa?"
"Itu, kayak risol, kadang jual kue bolu, kadang juga yang lain. Tergantung temen-temen keliatannya lagi suka apa."
"Kamu punya supplier-nya?"
"Ada. Aku tanya dari temen-temen OSIS yang suka jualan buat keuangan event. Tapi, jangan bilang-bilang, ya, Mas. Ini aku diem-diem soalnya nggak mau nanti ngerepotin Bunda lagi."
Zayd terdiam mendengar cerita adiknya yang tidak ia ketahui itu. Sepertinya, adiknya ini lebih berani dibanding dirinya untuk mencari uang sendiri demi tidak merepotkan bunda mereka.
"Jadi, menurut Mas, Bunda kenapa?"
Belum sempat Zayd menjawab, terdengar suara ramai di luar kamar. Zayd dan Kiran saling bertatapan. Keduanya menggeleng, lalu mata mereka membesar. Berbagai pikiran dan segala kemungkinan berputar dalam pikiran mereka.
Setelah keduanya keluar kamar dan menyaksikan pemandangan di ruang tamu, mereka sempat lupa cara bernapas saat melihat siapa yang datang ke rumah mereka di malam hari dan membuat keributan.
Ngapain Tante Nita sekeluarga dateng ke sini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasir Dalam Genggaman
Ficção Geral"Menggenggam kuat membuatku kehilangan segalanya, tetapi melepasnya membuatku tak memiliki apa-apa" Menjadi istri, ibu, kakak, dan anak di saat bersamaan bukanlah peran yang mudah bagi Astri. Pikirnya, menjadi wanita karir dapat membantu meringankan...