If I hurt you today, forgive me
the stupid me made a thoughtless remark
even if you can't understand my heart now,
I'm ok—f(x), Sorry, Dear Daddy
***
Astri bergegas merapikan meja dan barang-barangnya karena hari ini adalah ulang tahun si bungsu, Kiran. Ia dan suaminya, Rendi, sudah bersepakat untuk membawa anak-anak mereka makan di restoran yang sedikit mewah, mumpung budget bulanan keluarga berlebih. Selain itu, Astri juga baru saja mendapatkan amplop berisi uang transportasi karena ia habis mengikuti agenda departemen yang dilaksanakan di luar kantor.
Sebagai seorang kepala tata usaha berstatus PNS di sebuah perguruan tinggi, Astri tidak hanya mendapatkan uang dari gaji bulanan. Terkadang, rapat di luar kantor atau agenda pertemuan lain membuatnya mendapat makanan kotak, uang transportasi, atau bahkan tunjangan tambahan yang bisa ia masukkan ke tabungan keluarga. Namun, tak jarang ia gunakan uangnya untuk membelikan makanan kesukaan kedua anaknya. Kali ini, uang transportasi yang ia dapatkan akan ia pakai untuk membeli hadiah bagi si bungsu.
"Halo," ujar Astri saat mengangkat telepon yang berdering di perjalanannya menuju tempat parkir motor.
"Udah jalan pulang, Bun?" Suara anak sulungnya, Zayd, terdengar dari seberang telepon.
"Iya, ini udah di parkiran. Bunda pulang dulu, kan, buat jemput adek?"
"Langsung ke tempat aja, Bun. Adek tadi katanya ada rapat OSIS dadakan, jadi dia langsung berangkat dari sekolah naik ojek online."
"Oh, gitu. Mas naik motor sama Ayah berarti?"
"Iya."
"Oke. Ketemu di sana, ya!"
Usai menutup telepon, Astri langsung memakai jaket yang ia tinggal di motor matic berwarna putih biru miliknya dan meluncur menuju mal terbesar di kota.
Sepanjang perjalanan, Astri memikirkan hadiah apa yang akan ia belikan untuk Kiran. Seingatnya, Kiran sempat mengeluhkan tas sekolahnya yang saat ini mulai sobek dan membuat pundaknya pegal karena bantalan di pundak semakin menipis. Wajar saja, tas yang dipakai Kiran sudah berusia hampir 4 tahun. Kadang, Astri tidak tega melihat anak perempuannya itu terus memakai tas yang sama sejak SMP. Ia sempat menawarkan untuk membeli tas baru ketika Kiran masuk SMA, tetapi anaknya menolak dengan halus.
"Ini masih bisa dipake, Bun. Nanti kalau aku udah nggak nyaman dan udah beneran rusak, bakal bilang kok ke Bunda. Uangnya ditabung buat Bunda sama Ayah persiapan daftar haji aja."
Di satu sisi, Astri bangga dan terharu dengan pernyataan anaknya. Namun di sisi lain, ia sebenarnya tidak tega. Ia pun hanya bisa memberikan kepercayaan pada anak-anaknya dan mengajarkan pada mereka untuk menyampaikan pada dirinya atau suaminya jika mereka butuh sesuatu. Siapa sangka, tas itu akan bertahan selama 4 tahun. Meski Kiran belum meminta secara langsung, Astri berniat memberikan kejutan untuk Kiran dengan membelikan sebuah tas baru yang, kalau bisa, tidak membuat pundak anaknya itu pegal.
Astri tersenyum sendiri membayangkannya.
Ramai jalanan di jam pulang kerja membuat Astri agak terlambat sampai dibandingkan suami dan anak-anaknya. Ia mengecek ponsel yang sudah ada missed calls sebanyak lima kali dari Kiran dan sebuah pesan yang memberitahukan bahwa mereka menunggunya di sebuah restoran Steak satu-satunya di mal itu.
"Bunda!" seru Kiran sambil menghampiri Astri yang celingak-celinguk di depan restoran Steak. "Kita makan steak, ya. Ayah udah acc katanya buat sweet seventeen-ku boleh yang mahalan dikit. Hehehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasir Dalam Genggaman
General Fiction"Menggenggam kuat membuatku kehilangan segalanya, tetapi melepasnya membuatku tak memiliki apa-apa" Menjadi istri, ibu, kakak, dan anak di saat bersamaan bukanlah peran yang mudah bagi Astri. Pikirnya, menjadi wanita karir dapat membantu meringankan...