09 || Seperti Pilih Kasih

37 5 0
                                    

Astri yang tidak terbiasa untuk bangun lebih dari pukul tujuh pagi sudah sibuk di dapur saat penghuni rumah masih terlelap di kamar masing-masing. Menyuci beras, masak nasi, merebus air untuk membuat teh dan kopi sebagai minuman pagi suami dan adiknya, serta membuat susu untuk anak-anaknya. Jika dirinya sangat lelah, ia mungkin akan menggunakan waktu luang di hari Sabtu dan Minggu untuk tidur lebih lama. Namun, mengingat di rumahnya sedang ada tamu, ia merasa tidak memiliki hak untuk bangun lebih siang karena harus menyiapkan sarapan, atau setidaknya belanja, lebih banyak dari biasanya.

Kulkas mulai kosong. Hanya tersisa tiga telur, tempe seukuran telapak tangan, daun bayam yang belum di masak, dan beberapa jenis nugget yang siap di goreng. Saat perempuan dengan daster cokelat ini menimbang-nimbang apa yang akan ia masak sebagai sarapan, ia mendengar suara orang menguap dari belakang.

"Mau masak apa, Mbak?" Nita yang baru bangun ikut berdiri di depan kulkas.

"Aku buatin sayur bayam bening sama nugget, anak-anakmu mau?"

"Mereka mah apa aja dimakan, Mbak. Hari Minggu emangnya nggak makan di luar, Mbak?"

"Mau makan di luar?" tanya Astri sambil membalikkan badannya.

"Ya, nggak tau. Kemarin, sih, anak-anak tanya kalo ke sini bakal jalan-jalan apa enggak."

"Ya udah, pas makan siang aja. Aku masakin sarapan dulu."

Astri pikir adik perempuannya itu akan membantu menyiapkan makanan di dapur. Namun, setelah Nita mengangguk dan menguap lagi, perempuan yang sedikit lebih tinggi dari Astri itu malah kembali berjalan menuju kamar. Astri hanya tersenyum dan berpikir mungkin adiknya kelelahan setelah perjalanan menuju rumahnya. Lagi pula, masa iya tamunya harus ikut bantu memasak?

Dengan hati yang ringan dan wajah yang segar, Astri menyelesaikan persiapan sarapan untuk seluruh penghuni rumah. Kopi, teh, dan susu sudah tersedia di meja makan, ditambah sepiring nugget sudah digoreng dan siap di makan. Untuk sayurnya, Astri sengaja membiarkan panci sayur di dapur supaya usai mengambil nasi, keluarganya bisa langsung mengambil sayur bening sesuka hati.

"Bunda masak sendiri?" tanya Kiran yang entah kapan sudah berada di samping Astri.

"Iya, Kiran belum bangun, sih. Jadi, Bunda masak sendirian, deh."

"Lho, kupikir Tante Nita yang bantuin. Tadi bukannya bangun duluan daripada aku?"

"Masa tamu disuruh masak, sih. Udah, kamu bangunin Ayah sama Mas, gih." Astri berlalu ke dapur lagi untuk menyiapkan peralatan makan, tanpa melihat raut wajah putrinya yang berubah drastis.

***

Sebenarnya, Kiran ingin membantu bundanya menyiapkan segala sesuatu. Namun, entah mengapa perkataan bundanya terasa nyelekit dan membuat perasaannya kesal seketika.

Emang kenapa kalo tamu? Bukannya dia adiknya Bunda? Harusnya bantuin dong!

Batin Kiran terus mengulang segala tanya yang tidak ia mengerti jawabannya. Meskipun di satu sisi ia juga merasa bersalah karena sengaja tidak langsung bangun—ia kira tantenya akan membantu bundanya dan Kiran sedang tidak ingin berinteraksi dengan sang tante yang datang tiba-tiba—Kiran tetap saja kesal karena, toh, bundanya juga tidak menyampaikan kalau butuh bantuan untuk masak. Kenapa jadi gara-gara aku yang belum bangun?

Entah hanya sekadar gurauan atau kalimat serius, Kiran tetap tidak terima karena disebut sebagai penyebab bundanya jadi harus menyiapkan semuanya sendiri. Masih pagi, tetapi mood perempuan berponi samping ini sudah hancur berantakan.

"Wah, makasih, Bude!" Suara Fawaz yang nyaring dengan wajah bahagia hadir di tengah-tengah meja makan oval itu.

"Makasih, Bude." Manda mengikuti.

Kiran melirik dengan perasaan yang tidak nyaman. Ia sendiri tidak tahu perasaan apa yang muncul. Ia tidak ingin kesal dengan sepupunya, tetapi ia juga tidak senang dengan kehadiran mereka di rumahnya.

"Coba bilang itu ke Bude. Katanya kamu pengen jalan-jalan," seru Nita menimpali.

"Emang Fawaz pengen ke mana?"

"Katanya pengen makan pizza atau daging itu, De."

Kiran mengerutkan dahinya. Yang ditanya Fawaz, kenapa Tante Nita yang jawab?

"Fawaz pengen pizza?"

Lelaki kecil itu mengangguk sambil tertawa kecil.

"Aku pengen makanan korea itu, lho, Bude." Kali ini Manda ikut menyampaikan keinginannya.

"Ya, udah. Nanti habis zuhur kita jalan-jalan, ya."

Rasanya, makanan yang sudah ada di dalam mulut tiba-tiba sulit untuk ditelan oleh Kiran. Perasaannya semakin campur aduk pagi itu. Bagaimana tidak?

Kiran yang beberapa pekan terakhir meminta supaya keluarganya bisa jalan-jalan ke luar selalu mendapat penolakan dari sang bunda. Kiran sudah mengalah dan bahkan mencoba untuk jualan sendiri supaya bisa mendapat uang tambahan untuk membeli makanan atau barang yang ia inginkan. Atau ya, setidaknya untuk jalan-jalan sendiri karena bundanya sedang dalam mode menghemat. Lantas, apa ini? Mengapa begitu mudah bundanya mengiyakan keinginan sepupunya yang baru sampai semalam?

"Dikontrol mukanya. Nafas, coba, nafas."

Bisikan kakak laki-laki Kiran yang duduk di sebelahnya terdengar menggelikan telinga. Kiran pun menengok dan menunjukkan wajah kesalnya dengan dahi berkerut dan bibir maju dua senti. Namun, hanya mendapat gelengan dari Zayd.

"Bude, aku udah. Ini ditaruh di mana?" ujar Manda yang baru saja menyelesaikan sarapannya.

"Ditaruh situ aja. Manda mandi dulu aja biar nanti kita gantian mandi sebelum pergi, ya," jawab Astri.

Tak lama, Kiran juga menyelesaikan sarapannya. Baru saja ia akan beranjak, matanya beradu dengan mata sang bunda. Ia terdiam dan membaca gerak bibir bundanya.

Tolong diberesin, dicuci, ya.

Tentu saja dahi Kiran refleks mengerut lagi, tanda bahwa ia memerlukan penjelasan.

Bantuin Bunda.

Kiran menarik napas dalam. Rasanya, ia ingin mengembuskan napas itu dengan kuat, tetapi ia pun masih ingin menjaga perasaan bundanya. Perlahan, ia mengembuskan napasnya sembari membereskan piring-piring kotor di meja makan dan membawanya ke dapur.

Saat meyakini bunda dan ayahnya sudah selesai mengoper peralatan makan yang kotor lainnya, saat sudah yakin bahwa dirinya sudah sendirian di dapur, Kiran pun menarik napas panjang dan mengembuskannya sekuat tenaga.

Ia kesal.

Sangat kesal dan ingin tenggelam saja ke dasar bumi.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pasir Dalam GenggamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang