With my hair tightly tied up
I'm cleaning up my messy room
I'm looking for somethin' new—Taeyeon, Fine
***
Astri selalu menjaga profesionalitasnya dalam bekerja. Meski kabar bahwa putri bungsunya kecopetan cukup membuat jantungnya hampir berhenti, ia tetap dapat berangkat ke kantor dengan tenang dan melakukan pekerjaan yang harus ia selesaikan. Prinsip yang ia pegang hanya satu, ada Tuhan yang selalu melindungi anaknya dan ia selalu berdoa untuk keselamatan anak-anaknya. Lagi pula, Zayd sudah menghampiri Kiran ke sekolah dan melaporkan bahwa Kiran baik-baik saja melalui grup WhatsApp keluarga.
Happy Family.
Seperti nama grup itu, Astri tentu saja mengharapkan kebahagiaan selalu hadir di tengah keluarganya. Termasuk kebahagiaan yang selalu berusaha ia ciptakan dalam kondisi apa pun.
Di tengah-tengah mengurusi persuratan dan dokumen untuk kenaikan jabatan beberapa dosen, lirikan mata Astri tak pernah lepas dari daftar pesan WhatsApp. Ia sedang menunggu dengan kecemasan yang dialihkan pada pekerjaan dan segala kesibukan. Hingga sebuah bunyi notifikasi bersamaan dengan tampilan pesan di pojok kanan komputer membuat jemarinya berhenti mengetik.
Bapak ranap sehari. Boleh tulung tambahi biaya RS? Uang fotokopian gak nutup.
Astri menghela napas panjang. Ia membuka catatan keuangan keluarganya dan berpikir keras untuk melakukan penyesuaian pos keuangan bulanan. Mungkin, kali ini ia harus membiarkan pendapatannya masuk ke pos prioritas baru—pos pengobatan Bapak. Namun, penghasilan suaminya yang tidak sebesar dirinya tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan primer rumah tangga. Ia tetap perlu membagi beberapa persen pendapatannya untuk membantu sang suami. Uang sekolah bulanan, listrik, air, internet, dan kebutuhan makan sehari-hari. Belum pos keuangan darurat, uang jajan Kiran, uang untuk family time bulanan. Harus ada yang dikurangi dari semua pos-pos yang ada. Kepala Astri mendadak pusing dengan seluruh pengaturan keuangan ini.
Satu hal yang ia tahu, keluarganya selalu menjadi prioritas.
Astri langsung beranjak dari meja kerjanya tepat saat jam menunjukkan pukul empat sore. Selain karena tidak ada hal yang perlu dikerjakan lagi, langit di luar sana sudah mulai menghitam dan sepertinya akan segera hujan. Untungnya, ia sempat mampir di minimarket untuk membeli sabun yang tadi pagi sudah habis sehingga harus dikocok dengan air supaya bisa tetap mandi. Ia juga mampir ke ATM untuk mengirimkan uang pada kakaknya untuk membayar biaya rumah sakit Bapak dan membeli siomai untuk Kiran.
Tepat saat motor putih-biru terparkir di halaman depan rumah, hujan deras datang bersama angin yang agak berputar. Melihat rumahnya gelap dan seperti tak berpenghuni, Astri mulai menyalakan lampu dan menghampiri kamar putri bungsunya.
"Kiran. Bunda bawa siomai, nih! Ayo dimakan bareng."
Tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Perlahan, Astri membuka pintu kamar dan mendapati putri bungsunya tertidur pulas di dalam. Ia ragu, tapi merasa perlu memastikan sesuatu sehingga mencoba membangunkan Kiran dengan menepuk lengannya. "Kiran, udah sholat asar?"
"Hm?" Kiran sensitif jika ada yang memegangnya saat ia tidur. "Sholat? Belum," jawabnya dengan mata yang masih terpejam.
"Ayo, sholat dulu. Udah mau jam lima."
"Hm."
Astri keluar kamar dan duduk di meja makan sambil membuka ponselnya, mengecek pesan-pesan di grup kantor yang tetap banyak walau hanya ditinggal beberapa saat. Setelah lima belas menit, ia lalu beranjak ke dapur dan bersiap untuk memasak makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasir Dalam Genggaman
Fiction générale"Menggenggam kuat membuatku kehilangan segalanya, tetapi melepasnya membuatku tak memiliki apa-apa" Menjadi istri, ibu, kakak, dan anak di saat bersamaan bukanlah peran yang mudah bagi Astri. Pikirnya, menjadi wanita karir dapat membantu meringankan...