06

136 15 32
                                    

Sudah empat hari Luna irit bicara. Hari-harinya tampak tak bersemangat semenjak Jeyson memperingatinya.

Hei, bahkan Luna hanya berbicara seperlunya dengan orang-orang rumah. Berbeda jika di sekolah, cewek itu memilih menyembunyikannya dengan ekspresi seolah tak terjadi apa-apa.

Tadi ketika keluarga Damian sarapan, Mama heran dengan perangai Luna yang lebih banyak diam. Raut wajah Luna kesal, begitu pun dengan Jeyson. Pun Luna juga tidak makan begitu banyak, dia lebih memilih cepat-cepat pergi ke sekolah dibanding terus berada di ruangan yang sama bersama Jeyson.

Mama bertanya-tanya dalam benaknya, sebenarnya ada apa dengan kedua anaknya. Apa mereka bertengkar?

Ingin sekali Mama menanyakan itu, tetapi niatnya diurungkan kembali mengingat Mama perlahan-lahan mulai menyadari perubahan sikap Jeyson pada Luna yang tak seperti biasanya. Kalau Mama ikut campur, takut menambah masalah.

Bimbang.

Mama tahu betul anak lelakinya seperti apa. Dulu sekali, Jeyson mudah bergaul dengan siapa pun, bahkan dengan senang hati mengenalkan teman-temannya pada Luna. Jeyson dan Luna selalu beriringan, di mana ada Luna, pasti di situ ada Jeyson. Semenjak Jeyson tahu tentang Luna, Jeyson terang-terangan menjauhi cewek itu. Mama sebenarnya sadar, terlihat ada jarak diantara Jeyson dan Luna. Tetapi Mama denial, mungkin saja kedua anaknya sedang bertengkar layaknya kakak-adik pada umumnya, kan?

"Serius amat, Neng."

Luna mengerjap, lamunannya menjadi buyar. Matanya yang menatap pemandangan dibalik jendela kelas, kini atensinya beralih ke Retta yang baru saja datang.

Kelas mereka, X MIPA 3, pagi ini terisi enam orang siswi dan sudah termasuk Luna dan Retta. 

Seperti biasa, Retta dengan cengiran khasnya.

Di atas meja, tangan kirinya dijadikan tumpuan untuk dagunya, Luna memandang Retta dengan heran. Kalau Retta sudah nyengir pagi-pagi, itu artinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Sudah menjadi tabiat cewek berambut sebahu yang notabenenya doyan gosip.

Setelah selesai menyimpan tas ranselnya di bangku, Retta mengambil posisi yang sama seperti Luna, hanya saja tangan kanannya yang ia gunakan sebagai tumpuan dagu.

"Semangat banget, ada hot news kah?" tanya Luna. Retta mengangguk cepat lalu tertawa kecil.

"Lo tahu?"

Luna menggeleng. "Enggak, tuh."

"Ish! Tadi, gue iseng lewat koridor ruang guru untuk memastikan siapa aja guru yang udah datang, dan gue nggak sengaja nguping percakapan Bu Mira dan Pak Agus di ruang guru. Katanya bakal ada murid baru di kelas kita. Murid barunya cowok," terlihat menjeda beberapa detik lalu melanjutkan, "Tapi.. nggak tahu dia ganteng apa jelek."

Kentara sekali setelah menyelesaikan kalimat terakhir, Retta menyengir kaku, seakan informasi yang dia dapatkan kurang menyenangkan.

Luna merotasikan bola mata, bibirnya berdecak bosan. "Fisik terooos.."

Retta buru-buru menyangkal. "Hei, itu bagus buat cuci mata lho ya!"

Mereka berdua akhirnya lanjut bergosip dan sesekali berdebat tak terima mengenai pernyataan satu sama lain.

Tak terasa, sudah banyak siswa-siswi mulai berdatangan mengisi kelas bahkan ada yang terlihat menyalin tugas temannya, dan ada juga yang menggosip seperti yang dilakukan Retta dan Luna. Lalu beberapa menit setelahnya, bel masuk berbunyi nyaring.

Bu Mira, wanita paro baya yang elok namun tegas, melangkahkan kakinya di koridor X MIPA 3 yang sepi. Wanita berkacamata itu memasuki kelas sembari memeluk beberapa buku Fisika di tangannya dan tak lupa dengan tas yang tersampir di lengan.

X MIPA 3 mendadak hening. Bukan karena Bu Mira yang tegas, melainkan pada seorang cowok yang mengekori Bu Mira di belakang.

"Sini, Nak, sama ibu," kata Bu Mira sembari tangannya memberi kode pada seorang cowok yang berdiri tak jauh untuk segera berdiri berdampingan.

Cowok itu menurut, dan berdiri di samping kiri Bu Mira, membelakangi papan tulis.

Cewek-cewek penghuni X MIPA 3 mulai berisik. Ada yang menutup mata, ada yang menutup mulutnya dengan tangan. Ada yang mulai mencari perhatian dengan dehaman, pun ada pula yang mendadak membereskan rambut. Dan kalian tahu? Bahkan ada yang mendadak mengambil cermin kecil dan lip tint di kolong meja, mereka dandan dadakan.

"Dia Agam. Siswa baru yang akan menjadi teman kelas kalian. Agam, silakan perkenalkan diri kamu, Nak," kata Bu Mira.

Agam tersenyum manis sembari melambai memandang sekeliling. "Hai.."

"Hai juga, Ganteeeng.."

"Hai Agam!"

"Hai Agam-kuuu."

Bu Mira berdeham, aura tegasnya muncul. Kedua tangannya terlipat ke belakang.

"Nama saya Agam Baskara, pindahan dari sekolah di luar negeri." Sontak, beberapa penghuni X MIPA 3 berteriak, terkagum, takjub. Siapa yang tidak kagum sekaligus takjub, sih, mendengar sekolah yang ada di luar negeri? Pasti murid-murid di sana terkenal dengan kepintarannya, bukan? Siapa tahu dengan adanya Agam di X MIPA 3 bisa membuat nama kelasnya menjadi harum dan terkenal akan prestasi. Agam melanjutkan sembari memasang senyuman yang membuat kaum hawa meleleh. "Semoga kita bisa jadi teman baik seterusnya!"

"Jadi pacar gue juga nggak apa-apa, kok!" teriak Retta sembari menunjukkan cengiran khasnya. Bu Mira langsung melototi Retta, membuat cewek itu diam. Cewek-cewek lain terkikik samar. Mereka yang ingin menggoda Agam menjadi diurungkan kembali karena takut pada Bu Mira.

"Ya sudah, Agam bisa duduk di sana. Cuma itu yang kosong." Bu Mira menunjuk bangku paling depan yang dekat dengan pintu kelas, meja sang ketua kelas yang teman sebangkunya pindah sekolah sebulan lalu. "Kalau ingin saling kenal dan berkeliling di sekolah, nanti istirahat saja, ya."

"Terima kasih, Bu," kata Agam sambil menunduk dan tersenyum kecil. Dia berjalan menuju bangku yang Bu Mira maksud.

Agam mengangguk satu kali dan tersenyum singkat pada Dedi si ketua kelasㅡcowok yang akan menjadi teman sebangkunya. Dedi tersenyum kikuk ketika Agam sudah duduk dan menyampirkan lengan tasnya di bangku.

"Oke, sekarang buka buku cacatannya dan buku paket Fisika halaman 54." Mendengar perintah dari Bu Mira yang sudah duduk di bangku wali kelasㅡtempatnya, mau tak mau membuat siswa-siswi menyiapkan buku tulis dan buku paket dengan tidak bersemangat.

Ketika Agam membalikan badan ingin mengambil buku catatan, dia tersenyum memandang salah satu siswi yang duduk di belakangnya. Lebih tepatnya dia memandang Luna. Yang dipandang hanya fokus membuka halaman pada buku paket Fisika.

Sadar ada yang memandangi, Luna menjeda sejenak. Netranya bersirobok dengan netra hitam pekat milik Agam.

"Hai.. Luna?"

[]

Wah, Agam siapa ya kira-kira? ┐( ˘_˘)┌

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Different Brother [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang