02

240 47 83
                                    


[]

"Kalau makan jangan buru-buru, Nak." Papa melirik Luna, anak yang duduk bersama istrinya terlihat buru-buru saat sarapan pagi.

Luna segera menelan roti panggang di dalam mulutnya. Tangannya dikibaskan di leher. "Aku pengen cepat-cepat ke sekolah."

Tujuan Luna ingin cepat ke sekolah adalah menghindar dari Jeyson. Apalagi ketika ingat kejadian semalam yang begitu tiba-tiba, Jeyson memeluknya tanpa alasan sekaligus menciptakan rasa canggung. Pun Luna merasa gugup ketika menyadari Jeyson yang duduk di hadapannya terus menerus memandangi dengan ekspresi datar dan kelewat santai, seolah tak pernah terjadi apapun.

Dahi mama tiba-tiba berkerut saat mendengar perkataan Luna, merasa heran. "Lho, kan ada Jeyson. Kamu bisa berangkat bareng sama dia."

Luna menatap Jeyson hanya dua detik karena dia cepat-cepat mengalihkan atensinya pada segelas air putih dan meminumnya hingga setengah. Jeyson tersenyum samar, nyaris tak terlihat.

"Nggak usah, Ma. Aku kayak biasa naik ojek online, hehe."

Papa memastikan. "Serius kamu? Nggak mau bareng Jeyson?"

"Luna serius, Pa."

Papa mengangkat bahu, tak bisa memaksa kehendak anak perempuannya. Pria paruh baya itu kembali memakan nasi goreng yang sempat tertunda.

Papa adalah pria yang selalu memperhatikan pertumbuhan kedua anaknya, selama bertahun-tahun papa mencoba mendidik Jeyson dan Luna agar menjadi pribadi yang baik. Jika papa tahu perihal Jeyson yang memeluk Luna, sudah dipastikan mereka mendapat banyak nasihat dan papa akan memarahi Jeyson, karena tentu saja mereka bukan anak kecil lagi. Sebenarnya papa khawatir melihat kedua anaknya yang sudah tumbuh menjadi remaja, sebab usia remaja memang masa pubertasnya tinggi dan ingin tahu banyak hal. Papa takut kedua anaknya mengalami pergaulan yang salah. Bahkan papa pernah mengatakan pada anak-anaknya untuk menghindari pacaran.

"Ya sudah, kalau begitu mama tambahin uang jajan kamu." Mama mengusap pelan rambut Luna, bibirnya tersenyum simpul.

Entah kenapa anak perempuannya yang tumbuh menjadi remaja terlihat makin cantik. Mama menyayangi Luna, layaknya anak kandung sendiri.

Jeyson tak bicara sedikit pun. Ekspresinya datar, dia hanya sibuk mengunyah roti panggang. Baginya, percakapan mereka tak ada yang menarik sama sekali. Sekarang dia sudah terbiasa melihat Luna diperlakukan lebih oleh mama dan papa.

"Aku berangkat dulu, Ma, Pa." Luna mencium punggung tangan mama dan papa bergantian setelah menerima satu lembar uang berwarna biru dari mama.

Roti yang akan dimakan Jeyson mendadak disimpan kembali di atas piring. Dia buru-buru menghampiri Luna yang sudah di depan rumah, mama sampai sedikit berteriak memperingati Jeyson agar berhati-hati.

"Berangkat sama siapa?"

Luna terkejut saat Jeyson tiba-tiba di belakangnya. Cewek itu menoleh, memutar bola matanya malas. "Sama cowok, gonta-ganti."

Jeyson mengerti, maksud dari 'gonta-ganti' adalah ojek online yang berbeda-beda pengemudi.

"Kenapa nggak bareng gue?" tanya Jeyson.

Wajah Luna mengerut. Sepertinya Jeyson melupakan satu hal. "Maksud lo? Lo lupa sama perjanjian yang dulu lo buat? Ingat, orang lain nggak boleh tahu kalau kita saudara!"

Jeyson diam, lalu dia menuju garasi dan memakai helm kemudian menyalakan motornya, Jeyson segera pergi meninggalkan Luna sendirian.

"Apaan, sih, nggak jelas banget tuh cowok!"

[][][]

Pandangan Retta sibuk melihat tujuh cowok yang mengerubungi salah satu meja kantin paling ujung. Dari ketiga temannya, Retta sendiri yang paling antusias ketika mengetahui beberapa senior kelas IPA dan IPS sedang berkumpul. Beberapa senior itu adalah objek favorit Retta karena tampangnya yang ganteng dan bisa dijadikan cuci mata, menurutnya begitu.

The Different Brother [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang