05

179 27 92
                                    

BRAK!

Jeyson menutup pintu kamar pribadinya kasar, tak lupa mengunci pintu. Masa bodo dengan Bi Ijah dan Mbak Lastri yang melihat tingkah Jeyson dengan curiga dari bawah tangga.

Sore ini mama papa tak ada di rumah, mereka belanja keperluan barang perusahaan untuk acara pengeluaran produk baru. 

Raut wajah Jeyson penuh amarah, dadanya naik turun. Dia menarik Luna yang ketakutan setengah mati. Jeyson mendorong Luna hingga terhempas di atas kasur. Dia mengungkung cewek itu di bawahnya, sampai keduanya bisa mendengar deru napas satu sama lain.

"Gue udah peringatin lo. Jangan dekat-dekat cowok lain, ngerti?" Kata-kata Jeyson penuh penekanan. Luna takut, bahkan matanya terasa panas. Rasanya Luna ingin menangis saja sambil berteriak.

Tangan Luna mendorong bahu Jeyson. Tetapi percuma, tenaga Jeyson jauh lebih kuat darinya. "Lepasin gue, Kak!"

Kali ini Luna terisak. Entah sudah keberapa kali Jeyson berhasil membuatnya menangis. Luna benci itu.

Raut wajah Jeyson tetap tak ada kata ramah. Sangat mengintimidasi. "Hah, gue bukan kakak lo."

"Satu lagi, jangan kegatelan di hadapan teman-teman gue," imbuhnya.

Hati Luna terasa ngilu mendengar ungkapan tersebut. Luna tak mengerti, kenapa setiap perbuatannya selalu salah di mata Jeyson. Pun Luna sampai memohon-mohon untuk meminta maaf, tetapi Jeyson tak menggubris. Bahkan Luna selalu menuruti keinginan kakaknya walau sebenarnya cewek itu muak. Lalu, di mana letak kesalahannya?

Mata cewek itu sudah memerah, air matanya terus mengalir. Luna sebisa mungkin menatap Jeyson dengan suara parau. "Mau lo apa? Kenapa gue selalu salah di mata lo? Apa karena gue bukan anak kandung?"

Jeyson terdiam beberapa detik sebelum kembali melanjutkan, "Ya, lo orang asing."

Ya Tuhan, kali ini hati Luna semakin sakit. Jika saja Luna tahu identitas orangtua kandungnya, dia segera meninggalkan keluarga Damian dan tak ingin lagi melihat wajah Jeyson.

Jeyson terus memandangi Luna dengan posisi yang masih sama. Hatinya jadi tak tega. Dia menyingkirkan sebagian rambut yang menghalangi wajah cantik Luna.

Tanpa sadar, tangannya mengusap jejak air mata di pipi cewek itu. Andai saja Luna tahu perasaan Jeyson seperti apa.

Pandangannya turun menatap bibir ranum milik cewek itu, pikirannya jadi ke mana-mana. Apalagi kondisi mereka yang dibilang cukup intim, jika wajah Jeyson maju beberapa senti sudah dipastikan bibirnya menyentuh bibir Luna.

Untungnya Jeyson masih waras, dia buru-buru menggelengkan kepalanya. Menepis pikiran kotor yang berkelindan.

Jeyson membuang napas, ada rasa bersalah yang terselip di hati.

"Kali ini gue maafin," suara beratnya terjeda beberapa detik. "Tapi, kalau gue lihat lo sama cowok lain, gue bisa aja ngelakuin lebih dari ini."

Luna membuang muka, hatinya masih sakit. Kalau Luna punya keberanian lebih, mungkin sudah dari dulu dia melawan Jeyson dan melaporkan tindakan yang membuatnya tak nyaman. Tapi Luna sadar diri, dia merasa bukan siapa-siapa di keluarga Damian.

Sebelum Jeyson bangkit, dia dengan santai mencium pipi Luna.

Jeyson menyeringai.

Cowok itu segera pergi meninggalkan Luna setelah mendengar klakson mobil papa dari luar. Luna bergeming. Tangisnya semakin menjadi di kamar Jeyson, sendirian.

Di luar, mama heran mendapati Jeyson berjalan tergesa. Anak laki-lakinya segera memakai jaket yang tersampir di bahu kanan. Jeyson berjalan ke garasi, di situ ada mama dan papa.

The Different Brother [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang