4 Februari 2024 [Bara]

29 14 0
                                    

Buatlah cerita dengan tema apocalypse

*゚+ 880 kata *゚+

Tanah di sekitarku bergetar hebat sekali lagi diikuti suara ledakan samar dari kejauhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanah di sekitarku bergetar hebat sekali lagi diikuti suara ledakan samar dari kejauhan. Ini mungkin yang ke-sebelas kalinya sejak matahari terbit di antara badai polusi. Dan Adira masih belum kembali sejak dua jam yang lalu. Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya setelah seluruh satelit di Indonesia hancur.

"Menurutmu kita harus apa, Al?" gumamku sembari melirik Altair. Meski tahu anak itu tidak akan menjawabku hari ini, setidaknya aku tidak sendirian di sini.

Selang-selang di tubuh Altair juga bergeming, menyisakan irama jarum jam yang memenuhi ruangan kecil kami. Sudah enam bulan lebih anak itu tak bicara denganku maupun Adira. Kuperhatikan wajahnya semakin pucat lantaran jarang terkena sinar matahari. Rambutnya bahkan memanjang lebih dari biasanya.

"Sabar, Bung. Kita bakal balik bertiga lagi." Kugenggam tangannya yang dipasangi infus. Suhunya normal, seharusnya dia baik-baik saja. Sesekali sebelah mataku melirik ke luar jendela, tetapi yang kutemukan hanya kabut dan warna abu-abu sejauh mataku bisa memandang. "Adira cuma perlu nyari beberapa peralatan lagi. Aku bakal buat alat biar kita bisa balik lagi, oke?" Sekali lagi kupandang wajahnya. Bodohnya aku berharap Altair akan menjawab ucapanku. Sekadar mengangguk pun tidak.

Baru saja aku hendak merebahkan kepala di sebelah tangannya, mataku menangkap cairan infus yang menggantung tiba-tiba berayun diikuti guncangan kuat yang menggetarkan seluruh isi ruangan. Biasanya aku akan tetap tenang menunggu guncangannya berhenti, tetapi kali ini amplitudonya terlalu besar dan lama.

Buku-buku di rak mulai berjatuhan, peralatan di mejaku, semua serta-merta jatuh tak keruan. Ini bukan guncangan biasa, suara ledakkannya baru sampai beberapa detik setelah aku memutuskan untuk mengangkat Altair dan menggigit infusnya. Kami harus keluar dari sini sebelum terkubur hidup-hidup.

Berbekal masker di wajah, sekonyong-konyong kutendang pintu dan menghambur ke luar. Dari ujung, kusaksikan satu persatu rumah warga runtuh, memperparah kondisi debu di sekitar. Gagak benar-benar keterlaluan mendepopulasi negara ini. Aku bahkan tak lagi melihat orang-orang berlarian keluar. Entah mereka sudah mati, atau memutuskan mendekatkan diri kepada Tuhan lantaran lelah.

Satu suara retakan keras mengejutkanku. Dengan cepat aku melangkah menjauh dari rumah kami. Tepat beberapa detik kemudian, dari sebuah retakan besar di dinding rumah, hunian kami itu sudah rata dengan tanah.

Aku harus mencari Adira. Altair juga tidak bisa terus di tempat seperti ini.

:.:.:

Napasku terengah-engah. Pandanganku sama sekali tidak membaik dengan satu mata yang masih waras. Pusat kota mungkin tempat yang sempurna untuk mencari keperluan, gadis itu harusnya tidak jauh dari sini.

Aku memutuskan untuk berhenti di pelataran ruko yang masih setengah bertahan. Di punggungku, Altair masih bergeming tanpa niatan untuk bangun dan membantu. Detak jantungnya melemah, helainya memutih terkena debu selama kami melarikan diri dari kiamat.

Getarannya sudah berhenti, tetapi aku punya firasat akan datang yang lebih besar lagi dari ini. "Adira!" panggilku frustrasi. Meski aku tahu dia takkan bisa mendengarku dengan telinganya, terkadang aku tetap ingin menyerukan namanya Berharap mendapat jawaban dari kedua orang yang kusayangi adalah sebuah kebodohan yang selalu kuulang setiap harinya.

Kakiku gemetaran. Dadaku tak sanggup lagi menguatkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Al, aku harus gimana?" Perlahan kuturunkan tubuhnya dari punggungku dan meraba lehernya.

Detak jantung Altair nyaris tak terasa. Kuremas tanganku kuat-kuat hingga buku-buku jari memutih. Berkali-kali kucoba mengusir pikiran buruk itu, tetapi aku tak lagi menemukan alasan yang kuat untuk membantahnya.

Sampai denyut itu benar-benar tak terasa, aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang kulakukan hanya menangis di dadanya yang hampa. Napasku sesak oleh rasa bersalah tidak bisa menyelamatkannya. Padahal aku yang berjanji akan mengembalikan kami bertiga seperti sedia kala. Seperti sebelum dunia ini hancur.

Sekali lagi, tanah yang kupijak seorang diri bergetar. Aku tidak boleh larut. Kalau tidak bisa menyelamatkan Altair, masih ada Adira yang bergantung padaku.

:.:.:

Hari semakin gelap dan aku bahkan masih belum menemukan Adira. Aku sudah mencoba kembali ke sisa reruntuhan rumah kami, tetapi sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang pernah berkunjung. Dia pasti masih ada di luar sana dan kesulitan untuk kembali.

Aku harus tetap di sini dan menunggu seandainya Adira kembali.

Dengan sisa tenaga, aku menyelamatkan beberapa makanan dan barang yang masih bisa dipakai, kemudian membangun gubuk kecil di sebelah reruntuhan rumah kami.

:.:.:

Sudah tiga minggu setelah kematian Altair. Aku akhirnya berhasil membawanya pulang dan mengubur jasadnya di halaman rumah. Sementara Adira tak kunjung pulang. Aku tidak tahu bahwa hari itu adalah kali terakhir aku bertemu dengannya, tetapi aku tetap akan menunggu. Suatu hari dia akan pulang membawa banyak barang untukku.

Di sisi lain, bumi ini benar-benar sudah tidak memiliki umur yang panjang. Berkat nuklir yang dipasang Gagak, populasi makhluk hidup hampir seluruhnya binasa. Jalanan-jalanan retak, membuat jurang yang dalam hingga cahaya tak mampu meraih ujungnya. Di sekitar Monas, tanah terbelah hingga aku bisa melihat lava menari-nari jauh di bawah sana.

Berkat kabut yang menutupi nyaris seluruh dunia, sulit bagiku untuk mencari tumbuhan yang masih hidup. Stok makanan di sekitarku sudah nyaris habis. Aku harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup lebih lama. Demi Adira.

:.:.:

Tiga tahun.

Aku memutuskan untuk pergi ke tempat lain dan meneruskan hidup sambil mencari Adira. Air laut mulai naik dan Jakarta tenggelam. Hanya gedung-gedung tinggi dan atap-atap rumah yang terlihat ketika aku kembali.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali sejak aku tiba. Hampir saja aku memutuskan untuk kembali ke daratan seandainya aku tidak melihat tanda itu.

Tetaplah hidup kalian berdua. Altair, Bara!

[]

Mari kita doakan semoga tema selanjutnya nyambung sama tema kali ini '-')~

Ini gambaran beberapa tahun setelah Blunder series gagal dengan misinya dan Gagak berhasil melancarkan depopulasi di Indonesia.

Hole-and-CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang