Di sampingmu, Nda menanyakan sesuatu. Suaranya kurang terdengar akibat volume suara yang cukup tinggi. Detik kemudian, kau mencabut alat pelantang dari kedua telingamu.
"Maaf. Ada apa, Nda?"
Nda tersenyum. "Kau mau membacakan puisi lagi untukku malam ini? Aku akan sangat senang kalau itu hasil karyamu."
Kau tersenyum. "Tentu," jawabmu.
Nda pun memelukmu erat. "Aku janji besok aku akan—"
Suara dentuman terdengar jelas. Ruang bawah tanah yang tengah kalian tempati bergetar hingga kalian berpelukan lebih erat.
"Ndi! Nda! Kalian tidak apa-apa?"
Dua suara menjawab, "kami aman, Bu"
"Oh, Tuhan. Syukurlah," ucap Oliv. Di ambang pintu, ibumu kembali berinteraksi dengan Mel dan Mo. Kerutan halus tampak di dahinya yang mulus.
Nda lantas berbisik. "Ndi, apa menurutmu dia lega karena kita selamat ... sebagai anak kandungnya, atau sebagai penerus Glimglow?"
Kau tak langsung menjawab. Dirimu lantas mengangkat bahu. "Entah. Keduanya, mungkin?"
Nda menggigit bibir. Ia beringsut menjauh dan mengecek perlengkapan darurat yang telah disediakan. Di ujung ruangan, sebuah siaran radio terdengar.
"Pemirsa, meletusnya gunung vulkanik ... situasi ... selatan Pulau Janiman[2] ... harap untuk ... hingga kondisi ... mbali stabil. Terima ... sih."
Oliv membuang napas panjang. Seakan berita darurat belum cukup, Mel memberi laporan. "Per siang ini, tiga puluh dua gerai Glimglow sudah dipastikan tidak dapat beroperasi karena telah rata dengan tanah. Dua belas gerai mengalami kerusakan berat. Tiga puluh satu gerai mengalami kerusakan ringan."
"Pabrik?" tanya Oliv.
"Status kerusakan pabrik dua puluh satu persen di bagian likuid dan semisolid."
Oliv mengembuskan napas berat. Wajah yang biasanya terlihat tanpa kerutan dan keringat kini tampak berbeda. Rambutnya kusut. Gesturnya kalut.
"Sudahlah, Bu," ucap Nda seraya memeluk Oliv. "Lebih baik ibu fokus pada keadaan kita. Urusan Glimglow bisa menyusul. Lagi pula, ibu sudah punya mereka yang bisa diandalkan."
Oliv menggelengkan kepala. "Ibu sudah membesarkan Glimglow seperti anak kandung ibu sendiri, Nda. Ribuan orang bekerja untuk Glimglow. Ibu juga bertanggung jawab pada mereka dan keluarganya."
Kau beranjak berdiri, hendak memeluk Oliv. Dua langkah kau ambil, lalu selanjutnya kau kehilangan keseimbangan akibat getaran hebat. Kau berjongkok dan melindungi kepala menggunakan kedua tangan. Selanjutnya, kau kehilangan kesadaran selama beberapa menit.
"Arindi Silvania. Bangun."
Kau terbangun seraya terbatuk-batuk. Hal selanjutnya yang kau tahu, kau beserta Arinda dan Oliv telah berada di sebuah hutan.
"Kabar baiknya, kau dan keluargamu selamat dan kami akan membawa kalian berlindung ke tempat lain. Kabar buruknya, daya aku dan Mo sudah hampir habis."
Kedua kakimu kram, tapi kau memaksakan diri merangkak menuju saudari serta ibumu. "Ibu? Arinda?" Keduanya masih tak sadarkan diri. Kau tersenyum, lega karena sudah sejak dua minggu terakhir menghabiskan waktu di ruangan tertutup. Kesyahduan hutan menyambutmu. Kesadaranmu perlahan terkumpul.
Baru saja kau hendak meminum air mineral yang diserahkan oleh Mel, gemuruh hebat membuat seisi hutan bergetar. Hewan-hewan berlalu-lalang di tengah kepanikan.
Awalnya letusan gunung. Lalu gempa. Lantas entah apalagi. Mengumpulkan tenaga yang tersisa, kau beranjak berdiri dan mendapati tanah di kejauhan kian terbelah.
"Mel! Mo!"
Kedua mata Mel dan Mo bergerak jauh lebih lambat. Gestur kedua humanoid itu patah-patah.
"Ya, Ar-indi?"
"But-uh ban-tu-an?"
Napasmu kian memburu. Tak ada waktu untuk mengandalkan robot-robot itu.
Gemuruh itu kian jelas; mendekat. Membelah tanah dan apa pun yang ada di sana. Dari tempatmu berada, bencana itu datang secara horizontal.
Detik itu juga, kau harus memilih. Bila tidak, mereka akan terpisah darimu atau lebih buruk lagi, mereka akan binasa.
Kau harus menyelamatkan salah satu di antara mereka berdua.
Ibu? Arinda? Ibu? Arinda? Kau menatap mereka bergantian.
Keputusan telah bulat. Kedua kakimu bergerak. Satu tubuh lantas kau coba selamatkan, sedangkan yang lain beserta Mel dan Mo berangsur ditelan oleh gravitasi, barangkali kian mendekat menuju lapisan bumi lebih dalam.
Kau, serta satu orang lainnya selamat. Tanah di sekitarmu masih bergetar. Kau lantas kembali menariknya, melingkarkan sebelah tangannya pada lehermu. Kau memapahnya, membawa kalian berdua ke tempat yang lebih aman.
Wah, wah.
Hebat sekali, Arindi.
Kurasa kau telah melalui tes dengan baik. Di atas kursi yang merangkapmu sejak puluhan menit lalu, alangkah leganya dirimu mendapati kau hanya menjalani sebuah tes melalui benda berbentuk seperti helm. Kau terharu karena pada kenyataannya dirimu masih berada di paviliun; di rumahmu sendiri dikelilingi oleh ibumu, Arinda, Mel dan Mo.
Melalui layar holo aku menyaksikan proyeksi tayangan yang kau juga saksikan, Ndi. Dan aku yakin, entah bagaimana, kau mengetahui bahwa itu semua tidak nyata. Dalam tes itu kau menyelamatkan ibumu alih-alih Arinda. Cerdik sekali, Arindi.
Karena aku tahu. Bila kiamat itu nyata, kau jelas-jelas takkan menyelamatkan Olivia Ravanti, kan?
◊▷◁◊
Catatan:
[1] Pada cerita ini, Pulau Jawa beserta Kalimantan telah bersatu sehingga bernama Janiman. Negara bukan lagi Indonesia, melainkan Nusanesia.
●
Alhamdulillah. Tuntas menulis tema hari keempat: apocalypse.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pengamat
Ciencia FicciónWinner DWC NPC 2024 ●●● Ketika aku utuh, aku sangat ramah. Namun, bila aku terbagi menjadi kepingan, aku bisa sangat membahayakan. Siapa aku? Aku hanya sang pengamat. ●●● [Karya ini diikutsertakan dalam Days Writing Challenge NPC 2024]