5) Sandaran

16 4 0
                                        

"Seni membuat kita waras. Berkarya adalah cara terbaik untuk melakukannya."

Kata-kata mendiang ayahmu itu selalu kau kenang. Kau sering meminta Mo untuk memutar video kalian berdua—saat itu dirimu, Nda, serta Geri tengah menikmati pemandangan dari wahana bianglala. Pemandangan senja menyambut kalian, menyuguhkan belantara kota berikut sungai yang mengalirinya.

"Ayah, aku mau kita naik perahu di sungai itu," ucapmu ketika itu. "Aku juga ingin mencoba mendayung."

"Aku juga!" seru Nda di sampingmu. "Menyiapkan perahu kertas sepertinya akan tambah seru. Kau mau menyiapkannya bersamaku, Ndi?"

Kau mengangguk bersemangat. Selama kalian menghabiskan waktu bersama, imajinasi kalian seolah tak terbatas. Baik kau maupun Nda selalu memiliki ide kreatif. Begitu pula dengan ayah kalian; tangannya begitu terampil menari di atas kanvas. Kini, kau mencoba mengulang kenangan itu lagi. Kau berupaya mengikuti jejak ayahmu. Menoreh garis berikut warna. Pemandangan. Hutan. Wahana. Sungai. Semua itu kau coba luapkan di atas kanvas—meski kau melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan kau memaksakan diri untuk terbangun sebelum matahari terbit.

Rencana kalian untuk mendayung dan menaiki perahu nyatanya tak pernah terwujud. Insiden kecelakaan yang merenggut nyawa Geri membuat kau dan Nda begitu kehilangan banyak hal sekaligus. Asa terhapus. Rencana bersama harus pupus. Sekarang, hanya ada sisa berupa kenangan beserta bibit-bibit kreatif yang bersemayam di dalam DNA-mu.

Seseorang membuka pintu tengah paviliun. Kau lantas menegakkan tubuh, waspada. Kau lalu bergegas menyembunyikan kanvas serta perlengkapan lainnya ke dalam lemari ini sebelum menghambur menuju kasur dan menarik selimut.

"Aku tahu kau sudah bangun, Ndi," ucap seseorang di ambang pintu.

Kau membalikkan badan. Ternyata bukan Oliv. Kau tersenyum dan memeluk saudarimu.

"Oh, Nda. Aku sangat merindukanmu."

Kalian saling mendekap dalam detik-detik yang terasa lama. Ekspresi kalian berdua sendu, lalu kalian tersenyum seakan telah berbagi informasi nonverbal. Kalian lantas cekikikan dan Ndi kembali mengeluarkan kanvas dari dalam sini untuk menunjukkannya padamu.

Tunggu. Kalian ... lho, aku tidak salah lihat, kan?

Bagaimana kalian bisa berganti ekspresi bebarengan kalau kalian tidak berkomunikasi tanpa kata-kata?

Oh. Tunggu. Apa itu artinya ... kalian bisa membaca pikiran satu sama lain?

Wah, wah. Aku sungguh berharap demikian! Kalau memang itu benar, sungguh ajaib! Terberkatilah kalian berdua. Agaknya kalian memiliki rencana untuk melawan Olivia Ravanti. Hei. Tetap saja kalian harus hati-hati.

"Astaga. Sejak kapan?" Nda bertanya kemudian.

"Aku sengaja mencuri waktu sepagi ini. Aku terbiasa melakukannya sejak dua bulan lalu, sih. Hitung-hitung supaya jadwalku dalam rangka 'siap tampil ke publik' tidak terganggu."

Nda manggut-manggut. "Keren sekali! Pemandangan ini lumayan mirip dengan yang kita lihat dari bianglala waktu itu. Kau tak ingin menunjukkannya pada ibu?"

Kau menggelengkan kepala. "Percuma. Nanti, dia menatapku seperti rentenir," kelakarmu.

Nda mengangkat bahu sebelum berbisik. "Ibu memang rentenir. Bedanya, dia menagih apa yang tidak kita janjikan."

Kau lantas menyandarkan kepala pada bahu saudarimu. "Nda, orasimu di acara pesta ulang tahun Glimglow kemarin bagus sekali. Aku tak yakin bisa melakukannya sebaik dirimu."

"Kau pasti bisa, Ndi. Kita dituntut untuk menjadi pribadi yang sama. Setelah aku yang sekian lama muncul ke publik, nanti giliran dirimu." Ia lantas memegang kedua bahumu. "Aku yakin kau bisa. Kita sama-sama bisa."

Ekspresi sendumu berangsur berubah tenang. Ketenangan yang hanya kau dapat dari saudarimu. Karena bagimu, dialah satu-satunya orang yang dapat kau jadikan sandaran.

◊▷◁◊

Here we go. Tantangan hari kelima DWC; buatlah cerita yang mengandung tiga kata: sungai, bianglala, rentenir. Maksimal 1000 kata.

Sang PengamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang