1.4. Seperti Kupu-kupu yang Terbang Bebas

47 8 1
                                    

Tidak ada kebohongan yang benar-benar sempurna.

Selama sehari Galih berada di tempat ini, tiap jam pelajaran berganti, guru-guru berganti, rupa-rupa lainnya pun berganti dari yang biasa saja sampai yang takjub menatapnya dari atas hingga bawah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selama sehari Galih berada di tempat ini, tiap jam pelajaran berganti, guru-guru berganti, rupa-rupa lainnya pun berganti dari yang biasa saja sampai yang takjub menatapnya dari atas hingga bawah. Bukan karena paras Galih tampan atau tidak, tetapi karena seluruh penjuru sekolah mengetahui soal prestasinya yang dinilai menakjubkan.

Sesekali orang-orang menyapanya dengan sebutan 'Si Krimtas' yang maksudnya adalah si kriminalis tanpa batas. Atau kadang hanya mengucapkan selamat padanya. Alih-alih menanggapi, Galih pun tak peduli. Dia berusaha acuh pada tiap pasang mata yang memperhatikannya menyusuri tiap koridor asrama. Hari sudah malam, tidak ada waktu buat Galih peduli pada tatapan-tatapan tidak waras itu. Semua orang di sini tidak waras. Dan segalanya yang ada di sini menakutkan.

Galih baru ingat kapan terakhir dia mandi. Iya, di rumah Bibi Alisha sore itu sebelum ia diantar ke asrama. Badannya sudah lengket karena pagi tadi dia tidak sempat mandi. Ketiga kakak kelas sekamar Galih itu masih belum mengizinkannya memakai satu pun fasilitas di sana---setidaknya sampai mereka tahu apa prestasi Galih. Alhasil, Galih hanya berdiam diri di bawah tangga asrama, tempat ia dan Rinnai bersembunyi kemarin malam.

"Anak baru!" Seseorang memanggilnya dari arah tangga. Otomatis Galih menoleh ke atas. "Ikut gue!" Tanpa sempat bertanya ke mana kepada orang itu, Galih langsung memasang langkah untuk mengikutinya menuju kamar. "Silakan masuk! Lo akan disambut!"

"Maksudnya?" tanya Galih merasa bingung.

"Udah masuk aja! Yang kemarin itu lupain, ya! Kita sebenarnya nggak bermaksud ngusir lo! Kalau aja kemarin lo jawab jujur soal prestasi lo, kita pasti sambut kedatangan lo dengan sangat ramah," jelas seseorang itu sembari membukakan pintu untuk Galih dan mempersilakannya masuk.

Tidak disangka, barang-barang Galih sudah ditata rapi. Koper miliknya sudah di simpan di atas lemari juga tempat tidur yang bersih. Mereka melakukan semua itu?

"Kita udah tahu prestasi lo, dari anak-anak di sekolah. Congrat, ya, lo siswa terbaik tahun ini," kata seseorang lainnya. "Oh, ya, nama lo siapa?"

"Galih. Galih Terbulan."

Sang kakak kelas itu mengangguk. "Gue Gumilar." Sosok yang duduk di atas meja malam itu. Kemudian berlanjut yang lainnya memperkenalkan diri. Seseorang yang malam itu sibuk dengan permainan rubiknya adalah seseorang yang membawanya kemari, namanya Febri Hendro Kusumo. Ia jauh lebih peka terhadap sekitar daripada Gumilar Aditya yang sedikit temperamen. Satu yang lainnya, yang enggan lepas dengan buku-buku sastra tebal adalah Tan. Namanya mirip dengan seorang filsuf Tan Malaka sang Bapak Republik Indonesia. Tapi, ia hanyalah Tanuarja Prasetyo yang apatis. Tidak peduli terhadap apa pun selain sajak-sajak perlawanan yang ditulis Wiji Thukul pada era orde baru. Sebut saja ia penggila sastra.

"Sori kita udah geledah koper lo. Kita cuma bantuin beres-beres," ucap Febri yang seolah mampu membaca apa yang Galih pikirkan. "Jangan lupa mandi! Kamar mandi sebelah sana!" lanjutnya sambil menunjukkan arah kamar mandi di sudut kiri.

Insidious SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang