25 Menyesal

299 22 0
                                        

Arden tidak tahu kalau Aya bisa sakit. Terbaring dalam balutan selimut selagi kamarnya segelap rumah hantu. Melisa dan Herdi sedang mengantarkan dokter. Kesempatan bagi Arden untuk masuk ke dalam kamar Aya yang tidak terkunci.

"Lukanya akan sembuh kira-kira seminggu."

"Selama itu apakah tidak ada obat—"

"Tentu ada, Nyonya. Obat pereda nyeri. Luka lebamnya mungkin memberikan rasa sakit yang tidak bisa diatasi hanya menggunakan obat luar. Saya akan menyarankan obat pereda nyeri sekaligus."

"Apakah itu begitu parah?"

"Tidak bisa dibilang parah, tapi jelas menyakitkan bagi anak-anak sekurusnya. Jika saya boleh tahu, apakah yang menyebabkan tubuhnya memiliki luka lebam semacam itu?"

"Mari kita berbicara di luar saja. Puteriku pasti sangat terganggu." Herdi melerai pembicaraan ketika Arden sedang berada di luar. Begitu mereka bergerak keluar, Arden menjauh.

Tidak ada yang tahu kapan Aya pulang. Terhitung sudah dua hari dan tiba-tiba saja perempuan itu ditemukan pagi harinya, terbaring dalam balutan selimut dan tidak sadarkan diri.

Diturunkannya selimut tersebut. Dilihatnya wajah Aya yang tampak kusam. Perempuan itu terlihat tidak merawat wajahnya dan bahkan masih mengenakan seragam sekolah. Bibirnya pucat dan nafasnya bergerak pelan sehingga Arden curiga bahwa Aya hampir mati.

"Ay." Dipanggilnya nama tersebut.

Aya memunggunginya, tapi jelas sudah memiliki kesadaran untuk mengenali suaranya.

"Lo dari mana aja dua hari ini?" Bodohnya Arden bertanya demikian setelah ia menjadi penyebab semua luka-luka yang Aya terima. Melisa itu wanita gila. Bagaimana bisa dia memukuli Aya menggunakan gantungan pakaian sehingga lengannya penuh bekas kebiruan.

"Papa menyalahkan gue." Arden mengepalkan tangan. Dia tidak bisa jujur bahwa dia menghawatirkan Aya. Itu akan berlawanan dengan sikapnya sendiri.

"Lo juga terlalu tolol untuk keliaran di Jakarta. Banyak orang jahat dan—terserahlah. Udah terlanjur kejadian. Lain kali jangan mengambil keputusan secara sembarangan. Gara-gara lo gue diomelin. Dicurigai membawa pengaruh buruk dan bahkan tersangka."

Aya menarik selimutnya menutupi kepalanya kembali. Arden pun tidak berniat berbicara lebih banyak lagi. Membiarkan Aya tertidur kembali, sementara orangtuanya masih berbicara dengan dokter.

▪️🎧•🎀•♟️▪️

Tiga hari kemudian.

Tidak pernah ada makan bersama lagi. Aya mengunci kamarnya selama penyembuhan. Arden yakin Aya bisa pergi ke sekolah dan melakukan aktifitas senormalnya, tetapi luka biru di sepanjang lengan tersebut tidak akan pernah ditunjukkan kepada dunia.

Makanan Aya selalu di antar ke kamar. Sisanya tidak ada yang berkunjung ke sana. Melisa dipenuhi penyesalan. Tidak berani masuk dan hanya menyampaikan kata-kata lewat Herdi.

Arden tidak tahu apakah Aya akan memaafkan ibunya atau tidak. Bagi Arden hal demikian tidak seharusnya dipikirkan. Melisa itu benar-benar mengejutkan. Dibalik kelembutannya ternyata tersimpan sifat mengerikan.

"Biar saya saja, Bi." Arden meraih nampan makanan. Herdi dan Melisa belum pulang, jadi Arden tanpa segan akan mengunjungi Aya. Arden penasaran seperti apa perkembangan kesembuhan Aya.

"Kalau Tuan Puteri tidak menjawab, letakkan saja makanannya di nakas, ya."

Arden mengiyakan. Dibukanya perlahan pintu kamar tersebut. Seluruhnya gelap. Hanya cahaya rembulan yang tampak menyentuh pintu balkon. Aya masih berkubang dalam selimut. Terlalu nyaman menyembunyikan wajahnya selagi Arden meletakkan makanan.

RED | Step Sister [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang