5. Batagor

0 0 0
                                    

Perbedaan antara benci dan cinta itu sangatlah tipis. Jika kau tak ingin sangat mencintai Hujan esok harinya. Maka belajarlah untuk tidak membenci hujan, hari ini.

©Rainsy™

"Hei, siapa namamu?" tanya Awan di balik helm hitam yang melindungi kepalanya.

Hujan yang tengah memeluk punggung Awan, berdecih. Mengingat Awan yang menemukan dompetnya dan Awan yang tahu ada kartu debit di dalam sana, seulas senyum tercipta di bibir manis Hujan. Itu basa-basi yang konyol untuk membuka obrolan. Gadis bergigi gingsul itu memiringkan sedikit kepalanya, untuk melihat binar di mata tajam milik Awan yang tertutup helm lewat kaca spion motor, lalu menjawab, "Hujan. Hujan Cassandra."

Awan terkekeh. "Apa, Hujan? Lucu sekali. Kenapa kamu diberi nama Hujan? Padahal nama Rain, Sunny atau apalah yang artinya sama-sama hujan atau gerimis, itu jauh lebih keren."

"Tapi, nama Hujan itu unik. Mungkin, hanya satu orang di Dunia ini yang memiliki nama seunik itu. Dan orang istimewa itu adalah aku."

Awan berdecak pelan. "Ck! Sombong sekali."

"Kamu sendiri. Siapa namamu? Jika tidak ingin dipanggil Alien, kenapa tidak sejak awal saja kamu memperkenalkan dirimu?"

"Awan."

Mendengar Awan berucap pelan menyebut nama salah satu benda Langit. Hujan pun mengubah arah pandangnya untuk memerhatikan gumpalan-gumpalan awan tebal yang berarak di atas Langit yang kian gelap.

Awan mendesah. "Dasar, Monster Kecil bodoh! Bukan awan di atas sana yang kumaksud. Tapi Awan Asvathama, si pemuda tampan yang tengah mengendarai motor bersamamulah maksudku."

Hujan terbelalak. "Awan? Jadi, namamu ..., WOW! Ini kebetulan atau kesengajaan ya? Awan dan Hujan. Mungkinkah kita bertemu karena ditakdirkan untuk berjodoh? Bukankah Hujan selalu datang bersama Awan?"

"Hei! Percaya diri sekali kamu. Siapa juga yang ingin berjodoh denganmu? Jikapun benar. Itu artinya, takdir telah salah menjodohkan kita."

Hujan langsung bungkam seribu bahasa setelah mendapat bantahan keras dari Awan. Padahal, Hujan mengatakan itu hanya sebagai lelucon saja. Agar kecanggungan di antara mereka di atas motor kian mencair, tapi kenapa pemuda di depannya malah menanggapi celetukan itu seserius tadi?

Kalimat yang Awan lontarkan barusan, benar-benar membuat mood Hujan untuk mengakrabkan diri dengan pemuda itu, menjadi hilang. Karena tak ingin diomeli lagi, Hujan pun memutuskan untuk tetap diam. Menikmati desiran angin dan suasana jalan raya yang mereka lewati saja.

©Rainsy™

Sebuah Kafe kecil di pinggir Kota, menjadi tujuan final Hujan dan Awan untuk mengisi perut mereka. Awan yang kali pertama mendatangi tempat makan itu, tampak terkesima melihat koleksi tembikar dan lukisan khas Paris yang menjadi hiasan dinding gedung bergaya Eropa itu. Dari penampilan luar kafe yang cukup tertata rapi dan melihat ramainya para pasangan muda yang berkunjung, Awan jadi penasaran. Kira-kira menu seperti apa yang kafe itu tawarkan.

"Ayo masuk! Ini Kafe favoritku dan kedua sahabatku. Kami sering menghabiskan weekend di sini. Selain tempatnya yang strategis untuk kaum ABG berkumpul, harga makanan dan minuman yang beragam di sini pun, sangat cocok untuk isi dompet anak sekolahan seperti kami. Kamu duduklah di sini, aku akan memesankan makanan untuk kita sebentar."

Awan yang baru saja menduduki tempat yang Hujan sediakan untuknya, tampak masih sibuk mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan itu. Pengelihatannya sempat tertahan, kala menangkap gelagat aneh dari seorang pelanggan yang duduk di meja sebelahnya; karena pria itu terus saja mengintip sesuatu lewat buku menu yang menutupi wajahnya.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang