3. Monster Kecil

4 0 0
                                    

©Rainsy™

Di salah satu ruangan dalam Sekolah Menengah Akhir yang memiliki plang  ruang Mading di atas pintunya. Terlihat seorang gadis manis yang memiliki rambut pendek sebahu tengah berdiri di depan sebuah meja persegi panjang yang di kelilingi oleh belasan siswa dengan buku catatan berikut pena yang ada dalam genggaman tangan mereka masing-masing.

"Baiklah, dengan berakhirnya rapat ini. Saya selaku Ketua mading berharap, kalian dapat lebih aktif dan kreatif lagi dalam menyusun sebuah karya. Baik itu berita, informasi ataupun seni, kalian dapat mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat menarik penghuni sekolah ini untuk ramai-ramai membaca mading kita. Tetap semangat berkarya ya, teman-teman. Meski kami para kelas tiga sudah melepas jabatan kami di Organisasi ini. Mohon maaf atas segala khilaf dan ketelodaran kami selama memimpin Mading ini, dan terima kasih karena kalian sudah berkenan melanjutkan usia Mading sekolah kita. Terima kasih."

Ramainya tepuk tangan para anggota salah satu Organisasi siswa itu menjadi penutup dari sebuah rapat dengan Agenda  pelepasan jabatan yang gadis bernama Hujan Cassandra itu pimpin.

Setelah menyalami beberapa anggota yang  merupakan para Adik Kelas serta mengucapkan salam perpisahan, gadis bergigi gingsul itu tampak tergesa-gesa memasukan buku catatannya ke dalam tas selempang bergambar menara Eiffel miliknya.

"Rin, Tom! Aku tinggal ya? Aku harus pergi sekarang. Sebelum hujannya reda dan Kakakku mengomel karena aku terlambat menemuinya. Bye-bye!" tukas Hujan pamit, menyematkan tas khas Paris kesayangan  di antara bahu dan pinggangnya kemudian berlari keluar.

Seulas senyum yang mengembang di bibir tipis gadis berwajah cerah itu, bak Musim Semi bagi siapa saja yang melihatnya. Hujan tersenyum riang ketika kemunculannya dari dalam kelas, disambut oleh rinai hujan yang menciptakan banyak genangan air di koridor Sekolah.

Gadis itu menghirup dalam aroma khas tanah yang diguyur hujan hingga memenuhi rongga parunya, sembari tangan kanannya terjulur menadahi air hujan yang jatuh dari atas genting Sekolah.

Aksinya yang tengah menikmati hujan itu, terusik. Ketika salah satu teman kelasnya yang tadi ikut menghadiri rapat bersama, menepuk bahu gadis penyuka hujan itu.

"Hu, kamu meninggalkan sweatermu. Ayo, pakailah ini. Agar kamu tidak kedinginan." ucap gadis berkacamata itu, seraya membantu Hujan untuk mengenakan baju hangatnya.

"Terima kasih, Rin. Tapi aku tidak akan merasa kedinginan jika dapat terus melihat mereka datang setiap hari," timpal gadis itu menatap penuh kekaguman pada ribuan tetes likuid bening yang membasahi Bumi.

Karena tak ingin melukai perasaan gadis si penyuka hujan yang berdiri di sampingnya, Ririn yang merasa jawaban gadis itu terlalu berlebihan, berusaha keras untuk menyembunyikan tawanya. Kemudian berkata, "Kalau setiap hari hujan, bisa-bisa Kota hujan ini akan berganti nama menjadi Kota banjir," selorohnya yang disambut kikikan geli dari Hujan.

Tak lama, seorang pemuda yang mengenakan seragam yang sama dengan Ririn dan Hujan, juga muncul dari dalam kelas. Dan menawarkan diri untuk mengantarkan gadis penyuka air Langit itu untuk pulang.

"Tidak perlu, Tom.  Rumah kita 'kan berbeda arah. Aku bisa pulang sendiri, kok." tolak Hujan halus.

Belum sempat Hujan yang tampak begitu dipedulikan oleh teman-temannya itu melanjutkan langkahnya, Sebuah tangan yang menyodorkan payung ke arahnya, sudah lebih dulu mengalihkan perhatian gadis pemilik gigi gingsul itu.

"Ini. Gunakankanlah payung ini untuk melindungi tubuhmu dari hujan. Aku yakin, tadi pagi kamu tidak membawa payung ke Sekolah bukan?" tukas seorang pria tampan berpenampilan rapi, dengan mengenakan kemeja batik yang entah muncul dari mana.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang