1. Jeruji Besi

0 0 0
                                    

Sebuah tempat yang dipenuhi deretan kursi dan meja makan bentuk persegi, mulai terisi oleh kerumunan pria yang mengenakan seragam biru tua dengan deretan banyak angka yang tercetak di balik punggung seragam khas tersebut.

Dua orang Polisi dengan tubuh tegapnya tampak berdiri mengawasi di ambang pintu. Sementara beberapa Polisi lainnya tampak sibuk mengatur barisan para Napi yang tengah mengantre mengambil makan siangnya di Kantin.

Entah karena kelaparan atau bagaimana, empat orang Narapidana yang baru saja datang, tiba-tiba membuat gaduh. Dengan seenaknya, mereka menyelak ke tengah barisan. Membuat penghuni rumah tahanan lainnya merasa kesal.

"Jangan gitu dong, Bang. Yang lapar 'kan bukan situ doang. Antre dong kayak yang lainnya." tegur salah seorang Napi yang posisinya direbut paksa oleh pria kurus berambut keriting tersebut.

"Apa?! Antre, lo bilang? Sembarangan aja lo kalo ngomong. Lo mau cari gara-gara sama gue, huh?" Dengan rahangnya yang mengeras, pria berambut keriting itu mencengkram kuat kerah baju Tahanan yang menegurnya tersebut. "Lo anak baru ya? Bisa kelar idup lo kalo cari masalah sama gue." lirihnya setengah berbisik, ketika ekor matanya menangkap bayangan beberapa Petugas yang datang menghampiri.

"Hei! Ada apa ini? Kamu mau sok jagoan lagi ya, Arga?! Di sini tidak boleh ada Senioritas. Jangan menyelak. Tetap pada barisanmu di belakang sana!" Dengan suara lantang, Seorang Polisi bertubuh bongsor tersebut menginterupsi sembari mengetuk-ketuk tongkat miliknya pada sebuah tiang penyangga dalam Kantin.

Alih-alih mematuhi perintah Sang Petugas, Tahanan dengan nomor punggung 101399 itu justru memasang wajah tengil. Kakinya seolah berat untuk ia gerakkan menuju barisan paling belakang.

"Kenapa malah diam? Ayo, sana! Balik ke belakang! Atau kamu mau saya masukan ke ruang Isolasi?!" gertak Sang Polisi membuat Narapidana yang terjerat kasus Narkoba dan Pembunuhan tersebut jadi melentur.

Namun baru satu langkah pria berusia 27 Tahun itu mengayunkan tungkainya, pria yang tadi dibully  justru bersuara, "Pak Sipir, tidak apa-apa. Biar saya yang mundur ke belakang. Biar dia saja duluan. Lagipula, saya tidak terlalu lapar." ulasnya yang direspon cengiran bahagia dari Arga.

"Nah, Bapak lihat sendiri 'kan, Pak? Saya gak pernah buat onar. Orang dia sendiri kok yang berbaik hati ngasih posisinya buat saya."

Tak ingin ambil pusing untuk meladeni salah satu Narapidana yang terkenal pembuat onar itu, Sang Polisi dan rekannya, memutuskan untuk pergi begitu saja meninggalkan panjangnya antrean.

Bak tak diberi makan beberapa hari, saat tiba giliran Arga mengambil jatah makan siangnya, pria itu seolah gelap mata. Tanpa memedulikan masih banyak orang yang berbaris di belakangnya, Si Pembuat gaduh dalam Rumah Tahanan itu justru dengan seenaknya mengambil banyak lauk-pauk yang terhidang di meja, layaknya prasmanan.

"Hei! Ambil secukupnya! Jangan rakus. Temanmu juga butuh makan!" Sentil salah seorang Narapidana yang hari itu bertugas menyajikan menu makan siang.

Alih-alih menerima masukan darinya, Arga justru tersenyum culas. "Halah! Peduli apa. Yang penting perut gue kenyang." timpalnya enteng. Mendengar itu, sontak emosi Sang Petugas yang tadi menegurnya pun tersulut.

Jika saja tidak segera ditahan oleh rekan yang berdiri di sampingnya. Petugas dapur dengan name tag 'Heru' di dadanya tersebut, pasti sudah ingin meninju mulut Arga yang sok berkuasa itu.

Setelah puas menumpuk makanan di piringnya, Arga berjalan ringan meninggalkan barisan guna menilik kursi Kantin mana yang layak untuk ia duduki selagi menikmati menu makannya kali ini.

Beberapa detik pupil matanya memindai satu demi satu bangku Kantin yang hampir terisi penuh, akhirnya Arga menemukan lokasi strategis yang masih kosong. Masih dengan membusungkan dadanya, pria tengil itu mengayunkan tungkainya kiri dan kanan menuju meja nomor tiga yang berada di paling ujung dekat jendela Kantin.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang