7. Saingan

0 0 0
                                    

Hujan dibuat bingung dengan tingkah Awan yang dianggapnya aneh. Bagaimana bisa Hujan dituduh sebagai tukang sihir karena katanya bayangan Hujan selalu muncul di setiap kali Awan melakukan sesuatu. Dan saat Hujan berasumsi mungkin Awan mulai memiliki perasaan khusus padanya, tangan Hujan yang semula digenggamnya erat justru langsung ditepis kasar. Bagaimana bisa ada seorang Pemuda yang sikapnya pun layaknya sebuah Dispenser ; yang terkadang hangat dan terkadang dingin. Jika tidak terlanjur terikat janji dengan Awan, ingin sekali rasanya Hujan melarikan diri dari sisi Awan.

"Apa? Kamu mau kabur? Kalau mau kabur, lompat saja sekarang dari motorku ini!" suara Awan yang terbalut masker hitam itu membuat Hujan yang tengah menatap bengis wajah Awan lewat kaca spion, segera mengubah fokusnya. Sepertinya Awan tahu bahwa sejak tadi, Hujan tengah mengutuknya meski di dalam hati.

Tak ingin mengganggu konsentrasi Awan yang sedang menyetir, Hujan pun memilih untuk mendongakan kepalanya menatap Langit yang mulai mendung. "Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, Wan."

"Iya. Tahu."

Motor balap Awan melesat kian cepat di jalanan yang lengang. Suara gemuruh mulai menggelegar. Selang beberapa saat kemudian angin kencang pun datang, memainkan ujung jaket Awan dan seragam sekolah Hujan yang seolah akan terbang.

Titik-titik gerimis yang mulai berjatuhan menjamah Bumi, membuat motor yang Awan kendarai perlahan bergerak ke sisi jalan. Tak lama kemudian, motor balap itu berhenti tepat di sebuah Halte tak berpenghuni.

Tanpa meminta sang penumpang untuk turun lebih dulu, Awan sudah membawa tubuh tingginya menjauh dari motor yang ia parkir di sisi trotoar. Membuat Hujan yang masih duduk di atas jok motornya, mengernyitkan dahi; heran.

"Ini hanya gerimis, Wan. Bukan hujan. Jadi kenapa harus berhenti?" tanya gadis itu dengan kepala dan kedua tangan yang ia tengadahkan ke atas; menyambut tetesan air Langit yang datang dengan senang.

Awan yang baru saja menempati bangku kosong di Halte itu, melepas helm lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya yang rusak. "Justru karena aku tak ingin bertemu dengan hujan. Aku memilih untuk berhenti. Menunggunya datang dan berharap dia juga akan segera pergi. Lagipula, aku lupa membawa jas hujanku. Kemarilah! Jangan buat aku semakin membencimu karena hujan yang turun," titah pemuda itu menepuk bangku kosong di sampingnya.

Meski sedikit bingung mengartikan maksud dari ucapan Awan, Hujan tetap menurut. Mengindahkan permintaan Pemuda itu dengan beringsut menempati bangku tersebut.

Melihat rintik gerimis berubah menjadi hujan deras yang menjamah Bumi, Awan kembali teringat masa lalunya. Masa lalu yang terus menghantui dan menyiksanya. Masa lalu, yang membuatnya membenci hujan. Di tengah ingatannya yang mengenang luka bernanah itu, kegiatan seorang gadis yang duduk menemaninya, mengusik ketenangan Awan.

"Hei! Tidak bisakah kakimu itu diam? Kenapa kamu mengulurkan dan membiarkan kakimu menyentuh tetesan hujan?!" sembur Awan yang wajahnya baru saja terkena cipratan air Langit.

Tak terima diperlakukan seburuk itu, Hujan yang marah, lekas beranjak dari duduknya. "Apa kamu masih ingin berdiam diri di sini? Aku akan pulang, sekarang!" Hujan maju satu langkah, kemudian berdecih sebal. Karena saat ia menoleh ke belakang, Awan masih tetap seperti itu; duduk termenung dengan kepala yang ia tundukkan dalam.

"Jadi, kamu tidak akan mengantarku?!"

Hujan kembali bertanya. Namun hasilnya tetap sama. Ia tak mendapatkan respon yang berarti. Hujan mendengus, seraya meremas tali tas selempangnya ia menggerutu. Mengatai Awan sebagai pria Alien yang tidak peka.

Seharusnya, jika seorang gadis sedang merajuk seperti yang Hujan lakukan saat ini, Awan segera bertindak untuk mencegahnya pulang sendirian. Tapi kenyataannya yang Awan lakukan saat ini apa? Pemuda itu bahkan sama sekali tak memedulikan Hujan yang sudah berdiri tepat satu inci, di depan tetesan rintik hujan yang jatuh dari atap Halte.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang