9. Kencan

0 0 0
                                    

Hujan meneguk salivanya payah. Menatap mata tajam milik Awan yang masih menunggu respon darinya yang hampir saja merusak karya seni pemuda itu.

Untuk yang kesekian kalinya Hujan merasa nyawanya terancam, jika gadis itu salah bicara. Alih-alih menjawab pertanyaan Awan, Hujan memilih untuk melangkahkan kakinya mundur sedikit demi sedikit. Menciptakan jarak aman untuknya agar tidak diterkam oleh Awan yang seolah sudah siap memburunya. Namun baru dua langkah kakinya bergeser ke belakang, sepasang tangan Awan sudah merangkul di perut ramping Hujan. Mengangkatnya tinggi lalu didudukkannya di atas meja makan.

Perasaan Hujan semakin tak enak saja kala Awan mencondongkan tubuhnya ke depan. Membuat Hujan yang susah payah menjaga jarak itu, refleks mengubah posisi tubuhnya menjadi setengah terbaring di atas meja.

"W-Wan. Sepertinya bercandaanmu kali ini sudah berlebihan. Posisi ini ...."

"Ada apa dengan posisi ini?" sergah Awan menyela, dengan wajah yang semakin ia dekatkan pada hidung kecil Hujan. "Kamu bilang sudah dewasa. Jadi kenapa kamu merasa canggung dengan posisi seperti ini?"

Hujan memalingkan wajahnya cepat, kala tanpa sengaja hidungnya bertabrakan dengan hidung mancung Awan.

Degup jantung di dalam dada Hujan kian menggebu tak keruan, menciptakan kegugupan yang semakin kentara di wajah mulusnya. "Posisi ini buat aku tidak nyaman. La-lagi pula, karya senimu itu tidak jadi aku rusak bukan? Karya senimu itu masih utuh, tidak tercemar oleh apapun." tukasnya masih dengan mata yang enggan menatap lawan bicaranya.

Melihat wajah Hujan sedekat ini. Mengamati kontur paras ayu dari lawan bicaranya sejengkal demi sejengkal, membuat Awan menjadi gemas. Terlebih lagi ketika semburat rona merah mendadak muncul di kedua pipi Hujan. Rasanya, Awan sangat ingin mengigit tomat segar di hadapannya itu.

Hujan meringis pelan kala merasakan sentuhan dingin yang berasal dari jemari tangan Awan melekat pada tengkuknya, lalu beralih menyentuh pipi kanan Hujan. Mengusapnya lembut sebelum kemudian, menutupi wajah Hujan dengan tudung hoodie merah yang gadis itu kenakan.

"Cucilah piringnya." titah Awan yang mengubah posisi berdirinya menjadi tegak.

"Apa?!" Hujan yang merasa telinganya salah mendengar itu lantas bertanya kembali. Meminta Awan untuk mengatakan dengan jelas maksud dari perkataannya barusan.

"Kamu lihat itu?" Awan menunjuk sebuah piring dan gelas di belakang tubuh Hujan yang masih betah duduk di atas meja tersebut dengan dagunya. "Aku sudah selesai menikmati hidangan yang kamu sajikan tadi. Maka, sudah seharusnya kamu mencuci piring dan gelas bekasku tadi. Ya hitung-hitung sebagai rasa terima kasihmu karena aku sudah mengizinkanmu berteduh di apartemenku ini."

Hujan dibuat melongo tak percaya. Dengan ogah-ogahan, gadis itu meloncat turun dari meja makan tempatnya duduk semula. Meraup piring dan gelas tadi lantas membawanya ke dapur.

Awan terkikik geli melihat ekspresi Hujan saat ia sedang marah seperti sekarang ini. Astaga, harus Awan apakan Monster Kecilnya itu agar tidak lagi memasang wajah menggemaskan seperti sekarang ini.

Sembari mengamati Hujan yang tengah sibuk mencuci wajan tempatnya memasak nasi goreng tadi dengan wajah yang ditekuk, Awan meraih satu toples camilan dari atas meja makan lantas mengayunkan tungkainya menuju ruang televisi. Menyalakan alat elektronik itu lalu mencari acara yang seru untuk ditontonnya yang tengah duduk di atas sofa putih tersebut.

Selang beberapa menit kemudian, kekhusyukan Awan yang sedang menonton sebuah film bertema Zombie tersebut dikejutkan dengan Hujan yang menjatuhkan tubuhnya untuk duduk di sofa kosong samping Awan.

"Aku sudah selesai mencucinya. Mencuci semua barang yang kotor di atas washtafel." lapornya dengan nada ketus.

Awan menoleh ke samping, tersenyum lembut lantas menepuk sayang kepala Hujan. "Gadis pintar. Terima kasih ya, atas bantuannya." ucapnya seraya memasukan sebuah popcorn ke dalam mulut Hujan.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang