4. Sebuah Nama

0 0 0
                                    

Alasan kenapa orang banyak menyukai hujan, adalah karena tiap titik-titik kristalnya, mampu menenangkan susunan saraf kita yang tegang. Dan juga, irama dari tiap gemercik air yang jatuh dari langit itu, mampu mengambil alih semua beban berat dalam pikiran kita. Mungkin oleh sebab itulah, Ibuku menamaiku dengan nama Hujan.

Hujan Cassandra.

©Rainsy™

Keempat roda yang terbalut karet hitam tebal itu, masih melesat lancar membelah genangan air yang menyelimuti jalanan Kota. Hujan masih belum reda di luar sana, titik-titik embun yang menguap pun, masih melekat kuat pada jendela mobil berwarna biru itu. Sang supir Taksi yang bosan dengan kesunyian yang dibuat oleh kedua penumpangnya, memutuskan untuk menyalakan radio dalam kendaraan yang ia kemudikan. Sejujurnya, sang supir lebih suka mendengar para penumpang yang menyewa jasanya itu, mengobrol. Mendengarkan mereka membahas tentang sekolah, pekerjaan, pacar, tempat hang out yang keren atau apapun itu, daripada harus mendengarkan lagu-lagu yang tak jelas di radio.

Tapi, sejak Awan mempersilakan Hujan masuk satu Taksi dengannya, kedua muda-mudi itu malah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing; Awan dengan buku tebalnya dan Hujan dengan rasa kagumnya pada rintik hujan yang ia intip lewat celah jendela yang terbuka.

"A-aww ...."

Suasana hening yang sang supir benci, akhirnya pecah. Meski hanya sekadar suara mengaduh dari gadis manis yang duduk di kursi belakang bagian kanan, namun itu berhasil membuat mata sang supir dan Awan serempak melirik ke arahnya.

"Ada apa? Apa kamu merasakan sakit lagi di perutmu? Perut bagian mana?" Pertanyaan yang Awan lontarkan seraya mengubah posisi duduknya menghadap Hujan; yang tengah meringis memegangi perutnya itu, disambut tatapan aneh dari Hujan. Belum sempat gadis gingsul itu menjawab pertanyaan dari Awan, suara di perutnya sudah lebih dulu menyahuti.

KRIUUK~

"Hehe ..., maaf. Sepertinya, aku lapar."

Sang supir terkekeh mendengar pengakuan menggelikan Hujan. Dan Awan hanya bisa berdecak sebal.

"Ah! Iya, aku baru ingat! Kalau sejak siang tadi, aku memang belum makan apapun karena terlalu sibuk mengurus acara Pentas Seni akhir Tahun nanti. Pantas saja! Tadi di Halte, badanku sangat lemas, dan rasanya ingin pingsan karena perut kosong ini. Hei, Alien dari planet Dabu-Dabu, bisakah kita mampir ke Rumah makan sebentar?"

"Apa?"

Bak terhantam ratusan kilo barbel di atas bahunya, Awan dibuat tercengang oleh kalimat yang baru saja gadis SMA itu katakan.

Jadi, orang yang dikhawatirkannya menghindap penyakit parah sehingga akan jatuh pingsan di tengah guyuran hujan itu, hanya sedang kelaparan saja? Astaga! Harusnya tadi Awan biarkan saja Hujan pingsan di pinggir jalan.

"Kita mampir sebentar di Warung nasi atau tukang bakso terdekat untuk makan. Kamu tak perlu khawatir. Karena aku tidak akan memintamu untuk membayariku," sambung Hujan memperjelas keinginannya.

Awan mendecih sebal. Mengubah posisi duduknya kembali menghadap ke depan, dan mulai membaca halaman buku yang ia tandai tadi. "Aku tidak lapar. Jika kamu ingin makan, maka keluarlah sendiri. Tapi jangan lupa untuk membayar setengah dari ongkos Taksi ini terlebih dahulu." balas Awan dengan santainya.

Melihat sikap menyebalkan pemuda yang duduk bersebelahan dengannya itu, Hujan hanya dapat mengeratkan gigi-giginya menahan kesal.

"Kamu pikir, aku tidak bisa membayar jumlah argo Taksinya apa?! Bahkan, dengan uang saku pun, aku bisa mengongkosimu pulang sampai rumahmu." gerutu Hujan yang beralih menyibukkan diri dengan mengobrak-abrik isi tasnya. Tak lama mencari sesuatu di dalam sana, gadis cerewet itu kembali memekik. Mengundang tatapan khawatir dari sang supir taksi dan Awan.

The Veins (Hujan di atas Awan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang