Gelap mencekam menyelimuti alun-alun Kekaisaran. Langit bagaikan kanvas hitam yang dihiasi goresan merah darah mentari terbenam. Di tengah keramaian yang berdesakan, sebuah perancah kayu menjulang tinggi, menanti mangsanya.
Seorang wanita dengan kedua tangannya terikat erat ke belakang, sementara kakinya dirantai agar tidak bisa bergerak. Pakaiannya compang-camping, penuh dengan debu dan noda darah. Wajahnya pucat pasi, dihiasi goresan luka dan keringat yang mengalir deras.
Di sekelilingnya, kerumunan orang berdesakan, teriakan dan cacian mereka bagaikan gelombang yang tak henti-hentinya. Mereka mencerca perempuan itu dengan kata-kata kasar, menuduhnya sebagai penyihir jahat.
"Sesuai dengan keputusan pengadilan kekaisaran Carravise, terbukti bahwa terdakwa bernama Seraphina Vaske telah bersalah sebagai pelaku dari percobaan pembunuhan putra Duke Aaron Vaske yang juga sebagai putra sambungnya; Xavier Vaske. Maka telah diputuskan hukuman untuk terdakwa berupa pencabutan gelar bangsawan serta hukuman mati." Setelah berucap demikian, seorang hakim agung terkemuka dari atas bangunan berjalan kearah perempuan tersebut kemudian memberikan kode kepada anak buah untuk membawa sosok perempuan itu kearah guillotine yang ada di tengah-tengah keramaian tersebut.
Perempuan dengan gaun putih kumuh itu hanya diam dan pasrah mengikuti tarikan kasar dari para algojo untuk membawanya keatas dan menempatkan lehernya pada lubang alat pengeksekusian tersebut.
Isakan tangis pilunya begitu menusuk kalbu, bagaikan melodi duka yang mengalun dari hati. Setiap tetes air matanya bagaikan cerminan kepedihan tak terucap, mengalir deras bagaikan air sungai yang terkikis oleh arus ketidakadilan. Sorot matanya begitu sendu ketika tatapannya tak sengaja beradu dengan sosok orang yang sangat dia cintai, segala rasa pilu dan rindu itu terungkap dalam satu tatapan bisu yang memecah hati.
Sedangkan tatapan penuh harap dari sang perempuan hanya dibalas dengan tatapan dingin dan tak tersentuh, bagaikan tembok kokoh yang memantulkan sinarnya kembali. Sejak tiga tahun lalu, tatapan itu tak pernah berubah, bagaikan es yang membeku dan tak mampu meleleh.
Tubuhnya gemetar serta luka-luka memenuhi ditubuh kecilnya, dirinya hanya bisa berucap mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bersalah.
Dirinya telah difitnah.
"Suamiku! Tidak, Duke! Tolong aku! aku tidak melakukan itu semua! aku.. telah dijebak! kumohon.. tolong aku! aku, sangat takut." Wanita dengan gaun putih kumuh itu berteriak dengan lirih kearah sang suami, berharap pria itu menoleh dan mengulurkan tangan untuk menyelamatkannya.
Di atas bangunan alun-alun, sosok Duke Aaron Severus Vaske menjulang gagah bak patung Yunani yang terukir dari batu marmer. Surai hitamnya berkibar tertiup angin, membingkai wajah tegasnya yang dihiasi sepasang iris hitam tajam. Pandangannya tertuju ke bawah, ke arah lapangan eksekusi yang ramai dengan suara sorak-sorai rakyat. Di sana, sang istri yang malang akan segera menerima hukuman mati.
Pernikahan mereka bagaikan sandiwara tanpa cinta. Aaron dan Seraphina terikat sebagai suami istri, namun hati mereka berseberangan. Di mata Aaron, sang istri hanyalah bayangan yang selalu mengikutinya, hadir namun tak pernah disentuh, tak pernah dirindukan. Ia tak pernah menghargai kehadirannya, bahkan mengabaikan perasaannya.
"Aaron! Tolong aku!" Seraphina tak henti-henti berteriak meminta pertolongan pada sang suami.
Tapi alih-alih memberikan tatapan khawatir, Aaron hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seolah dia tidak perduli dengan apa yang terjadi. Bibirnya terkatup rapat, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Wajahnya bagaikan topeng batu, tanpa ekspresi apapun.
Aaron terus menatapnya dengan tatapan menusuk, seolah-olah akan menembus ke dalam jiwa Seraphina. Kini.. tak hanya tubuhnya yang terluka namun hatinya pun juga ikut teriris. Dirinya.. merasa kedinginan di bawah tatapan dingin itu. Sampai sekarang, Seraphina masih tidak mengerti, mengapa Aaron begitu acuh tak acuh terhadap situasinya.
Walau sebentar saja, Seraphina juga ingin dicintai dan dihargai, tetapi Aaron sepertinya tidak mampu memberikannya hal itu.
Dia merasa hancur dan putus asa.
.
.
Setelah diseret dengan kasar, Seraphina telah sampai di depan guillotine, lehernya ditarik paksa oleh dua algojo yang berwajah dingin dan kejam. Tubuhnya gemetar ketakutan, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang pucat pasi.
Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berakhir di tempat ini, di ambang kematian. Dia hanya ingin hidup, ingin melihat matahari terbit sekali lagi.
Namun, takdir berkata lain.
Sebelum dirinya benar-benar berakhir, untuk terakhir kalinya Seraphina menatap orang-orang yang ia kenali. Dari atas sana, tepat disamping suaminya, sosok yang juga ia kenali, Elicia Purvich—selir kesayangan suaminya tersenyum licik penuh kemenangan.
"Dialah yang menjebak ku!" Teriak Seraphina dengan suara parau dan kebencian kearah Elicia. "Dia yang telah melakukan ini semua, bukan aku! Dia! Elicia!" Dengan sisa tenaganya Serinna berteriak mengungkapkan kebenaran.
"Kak Ser.. Hiks.." Elicia menangis setalah memanggil nama Seraphina, tubuhnya tampak bergetar sementara kedua matanya tak henti mengeluarkan air mata. Dengan lembut Aaron menarik Elicia ke pelukannya menenangkan kekasihnya.
"Kak Ser.. maafkan aku.. hiks.. aku memang tidak bisa menolong mu, tapi.. teganya kakak memfitnahku untuk kesalahan yang kakak perbuat.." Ucap Elicia dengan lirih dari balik pelukan Aaron.
Para bangsawan dan rakyat yang hadir berbisik-bisik, meragukan pengakuan Seraphina. Mereka lebih memilih untuk percaya pada Elicia, wanita cantik dan menawan yang telah memikat hati Duke Aaron.
"Kalian semua salah!" Seraphina berteriak histeris. "Dia adalah iblis! Dia penipu!"
Namun teriakan Seraphina tidak dihiraukan. Para bangsawan dan rakyat hanya memandangnya dengan kasihan, menganggapnya sebagai wanita gila dan penuh dendam. Elicia semakin tersenyum licik, menikmati penderitaan Seraphina dari balik dekapan suaminya.
Ditengah keputusasaan, Seraphina merasakan sakit yang luar biasa di dadanya ketika menyaksikan Aaron begitu lembut memperlakukan Elicia padahal saat ini dirinya yang membutuhkan itu semua, dirinya yang telah lama mendambakan perlakuan itu dari Aaron.
Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Seraphina masih tetap menatap pada Aaron dengan penuh kasih sayang. "Suamiku.." Bisiknya lemah, "Suatu hari kau akan tahu kebenarannya.. dialah yang ingin membunuh Xavier, dia menjebak ku.. dia tidak mencintaimu, dia hanya ingin takhtamu dan menyingkirka ku. Suatu saat kau pasti akan menyesal telah memperlakukan ku seperti ini, kau.. pasti akan-" menyesal.
Sebelum Seraphina menyelesaikan kalimatnya, algojo dengan tegas menarik tuas guillotine, dan pisau tajam itu seketika memenggal kepalanya. Darah segar menyemburat ketanah, mewarnai perancah dengan warna merah yang mengerikan. Jeritan ketakutan dan tangisan pilu menggema di alun-alun kota, memecah keheningan yang mencekam. Ribuan pasang mata terpaku pada tubuh tak berkepala milik Seraphina yang terbujur kaku di atas perancah. Rasa ngeri menyelimuti seluruh penjuru kota ketika algojo itu memungut kepala Seraphina yang terguling lalu dipamerkan untuk dipertontonkan seolah kepala tanpa tubuh itu adalah sebuah seni.
••• DEFYING FATE: SERAPHINA •••
( JANGAN LUPA VOTE YA )
KAMU SEDANG MEMBACA
DEFYING FATE: SERAPHINA
FantasiaSeraphina Vaske menjalani kehidupan sebagai seorang istri yang tidak dianggap. Malangnya, Seraphina pun juga harus mengalami kematian yang mengenaskan dalam sebuah konspirasi yang didalangi oleh selir kesayangan suaminya. Tepat setelah kematiannya...