Pt-3

54 18 52
                                    

Guncangan serta tepukan pelan di pipi berhasil mengembalikan kesadaranku. Kini aku kembali berada di kamar kecil yang kutebak adalah kamar mama. Wajah pertama yang kulihat adalah Mbak Meli lalu disusul dengan ibu yang baru saja masuk kamar dengan satu cangkir teh di tangannya.

"Kamu ini sebenarnya sakit apa, sih, Jul? Kok, dari tadi pingsan terus?"

Pertanyaan Mbak Meli hanya kujawab dengan gelengan pelan. Tidak mungkin juga aku mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tidak lucu jika aku berkata kalau aku bukan Juli melainkan anaknya di masa depan yang sedang isekai ke dalam buku diary mama. Bisa-bisa kepalaku digeplak oleh Mbak Meli karena mengeluarkan pernyataan tidak masuk akal.

"Ya sudah, kamu makan dulu, ya? Sudah seharian enggak makan. Ibu tadi sudah buatkan bubur buat kamu." Ibu duduk di sisi ranjang sembari meletakkan cangkir di meja kecil samping tempat tidur. "Meli, ambilkan buburnya di dapur." Mbak Meli langsung beranjak keluar kamar, melakukan apa yang ibu perintahkan.

"Kalau ada masalah cerita, ya, Nduk. Ada ibu sama Mbakmu yang siap jadi tempat berkeluh kesah kamu." Tangan ibu terangkat mengusap puncak kepalaku. Ada perasaan hangat yang menyentuh hati.

Jadi, begini rasanya diperhatikan oleh nenek?

Selama ini ibu ataupun ayah dari papa tidak pernah bersikap lembut dan perhatian seperti ibu dari mama. Mbak Meli pun juga terlihat perhatian dan sayang sekali dengan mama. Andai saja waktu itu mama tidak bertemu dengan papa, mungkin ... mama masih hidup dan merasakan kehangatan serta keharmonisan dalam keluarga di sisa hidupnya.

"Iya, Bu." Aku menarik dua sidut bibir ke atas  membentuk bulan sabit. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku harus bisa mengabulkan keinginan mama satu per satu. Meski bukan mama sendiri yang mengalami, setidaknya aku merasa bahagia karena berhasil mengamini perandaian mama dulu.

"Nih, makan dulu." Mbak Meli datang dengan semangkuk bubur di tangannya. Aku tersenyum sembari mengambil mangkuk yang disodorkan oleh Mbak Meli.

"Makasih, Mbak." Aku berkata yang dibalas Mbak Meli dengan anggukan.

Setelahnya aku hanya diam sembari menyuapkan bubur ke mulut, membiarkan Mbak Meli berbicara menceritakan perihal pekerjaannya. Ibu menanggapi dengan lembut sementara aku hanya tersenyum lalu mengangguk ketika ditanyai oleh Mbak Meli.

"Ibu sama Mbakmu ke kamar dulu. Kamu istirahat aja biar besok bisa sekolah." Ibu dan Mbak Meli keluar kamar usai aku menandaskan makanan serta teh hangat yang dibawakan.

Setelah kepergian mereka, aku gegas turun dari ranjang untuk mencari sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku bertahan hidup di dunia ini. Hal yang pertama kucari adalah buku harian mama. Mungkin dari sana aku bisa mendapatkan petunjuk langkah apa yang harus dilakukan nantinya.

"Ketemu." Setelah mencari cukup lama, akhirnya aku menemukan buku harian mama yang terselip di antara baju-bajunya dalam lemari. Ternyata menyimpan barang penting di antara baju-baju adalah kebiasaan mama sewaktu muda.

Buku harian mama yang ini jauh lebih bagus, terlihat seperti masih baru. Sama seperti buku mama yang kutemukan di duniaku, halaman pertama bertuliskan nama mama. Lalu halaman berikutnya tertulis tentang mama yang menyukai Caraka. Setelahnya kosong, tidak ada tulisan apa pun lagi.

Pasuruan, 20 Januari 2005.

   Aku punya seorang teman. Namanya Caraka. Dia ... sangat baik dan aku menyukainya.

Jsp~

"Sekarang sudah tanggal 20 Februari." Kalau aku tidak salah ingat, Caraka dan Fara jadian tanggal 25 April 2025, itu artinya untuk mengabulkan keinginan mama, aku hanya punya waktu kurang lebih dua bulan untuk membuat Caraka jatuh cinta pada mama.

Not an Ordinary Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang