- Arsip Dokumen 7.1

10 0 0
                                    

Ado's PoV

Apa yang lebih indah dari pertemanan? Jawabannya adalah tidak ada. Pertemanan bukanlah hal yang indah. Setidaknya tidak semua orang berpikir seperti itu, tetapi bagiku, iya.

Semenjak suara ledakan keras dari distrik pesisir barat, pemerintah mengarahkan seluruh tenaga yang tinggal di Fargasta untuk membangun kembali wilayah yang telah hancur itu. Hasil setelahnya, tempat itu layaknya surga huni bagi kami manusia yang mencari kelayakan hidup lebih baik lagi. Yah, sepadan dengan bagaimana banyaknya korban jiwa yang ditumbalkan dalam proyek pembangunan ulang berdasarkan berita gelap yang kudapatkan.

Kota yang hancur kini telah bangkit kembali dan menjadi tempat pelarian para pekerja maniak uang, termasuk dengan tempatku tinggal, perlahan rumah-rumah dari setiap gang kecil yang kulewati tidak lagi menyapaku, semua pindah ke kota baru yang sekarang dinobatkan menjadi kota pusat. Fargasta memiliki wajah baru yang pernyataan sah-nya tidak disetujui orang banyak.

Aku termenung. Apa suatu saat aku akan ke kota pusat juga? Melihat ekonomi keluargaku yang masih stabil, pasti mereka akan melemparku jauh-jauh untuk menjadi panglima kota seperti orang-orang. Anak-anak sepantaranku hampir seutuhnya pergi ke sekolah ternama yang diagungkan, hanya tersisa beberapa kepala saja di ruang kelasku, menyedihkan, tetapi aku menyukai suasana yang sunyi ini.

Beberapa tahun berlalu, ketika daun maple sudah mulai berguguran, aku sudah dapat dikatakan memasuki usia legal sebagai kandidat penjaga. Benar saja, aku dilempar ke sekolah kedisiplinan oleh orang tuaku. Sempat rasa kesal terbesit di dalam hatiku, kurang ajar, mereka hanya melahirkanku untuk menatap pahitnya dunia ini dan menjadikanku sumber kekayaan mereka; menikmati suara gesekan kartu kredit yang tidak akan pernah habis isinya, sedangkan aku akan ditempa, dibentuk, diukir menjadi sosok yang berbeda pastinya.

Tepat sebelum aku resmi menjadi siswa di sekolah kedisiplinan tersebut, aku menginap di rumah kakekku. Pria tua renta yang bahkan tidak dapat membedakan sebuah tongkat dengan ular yang berdiri, ingatannya mulai memudar hari demi hari, dan kalian tahu apa? Kakek itu adalah ayah dari ibuku, lalu ibuku? Haha, wanita itu sibuk memuaskan pria ke-6 yang dinikahinya sekarang. Dasar jalang.

Aku mengurus kakekku untuk dua minggu kedepan, sekaligus melatih kemandirianku walaupun aku tahu sikap seperti itu akan datang secara alami. Dengan kondisi yang semakin lama semakin memburuk, aku mulai terbiasa jika mendapat panggilan mendadak dari beliau. Meski merepotkan, tetapi kakek selalu menceritakan sesuatu kepadaku, entah itu datang dari ingatan lamanya, mengarang, atau pengetahuannya.

Dari beliaulah aku mengerti tentang keahlian dan bakat. Kedua hal itu sangat diperlukan untuk bertahan hidup di sekolah kedisiplinan nanti, sayangnya aku tidak tahu apa keahlian dan bakatku, padahal aku sudah hampir kepala dua menghirup oksigen di bumi ini. Usai mengantarkan kakek tidur, aku mempunyai rutinitas baru, yaitu mencari apa yang sebenarnya aku bisa. Pagi, siang, sore, maupun malam, aku terus membenahi diriku sendiri.

Apa yang sebenarnya biasa kulakukan? Tidak mungkin tidak ada hal keren yang dapat kubanggakan bukan? Dalam lima hari terakhir aku senang memperbaiki barang-barang yang rusak, membantu anak-anak kecil dan bermain layaknya seorang detektif amatir untuk memuaskan mereka. Namun, aku masih tidak menyadari sesuatu selain itu.

Dua hari sebelum aku resmi dinyatakan sebagai pelajar di kota utama, kakek meninggal dunia. Malam hari sebelum kakek mengembuskan napas terakhirnya merupakan malam pertama aku menitikkan air mata dalam hidupku, aku menggenggam kuat tangan kakek yang bergetar, sangat kecil jika disandingkan dengan tanganku.

"Kakek tidak akan pergi dari rumah ini, Nak, berhentilah menangis." Suara kakek lemah sekali, terlebih diikuti suara batuk yang membuatnya sangat rapuh.

MIRROR [ON GO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang