Bau obat menyeruak pada indera penciuman seorang lelaki yang tak lain adalah Faidhan, kini ruangan bernuansa putih, sepi, dan tirai yang menutupi tempat dirinya terbaring lemah disana.
Tiga orang kini tengah duduk di kursi yang berada didepan ruangan tersebut, mereka adalah Fika, Reya, dan juga Rafasya. Mereka bertiga kalut dengan pikiran masing-masing. Sementara Reya di tengah otaknya yang tak bisa berpikir itu tetap terus menghubungi Qairina.
"Saudara dari pasien bernama Faidhan Hafsya!" panggil perawat yang datang dari arah lorong.
"Saya sus." Rafasya langsung berdiri kala mendapat panggilan itu.
"Ikut saya menemui Dokter Mikael di ruangannya," ucap perawat tersebut.
Dokter Mikael adalah dokter yang memang sudah kenal dengan keluarga Faidhan, dan merupakan dokter kepercayaan keluarganya.
Rafasya mengikuti arah langkah perawat itu, rasa khawatir menyelimuti dirinya. Bagaimana jika keadaan adiknya itu semakin memburuk? Bukankah hal ini terjadi karena ulahnya yang juga tersulut emosi malam itu? Sunggu Rafasya tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada Faidhan.
Sementara itu, Fika panik karena takut ini bersangkutan dengan apa yang telah di lakukannya tadi di kampus, dia melayangkan pukulan yang cukup keras pada bagian perut Faidhan. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Fika benar-benar tak bisa berpikir jernih saat ini.
"Re gue takut banget terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Faidhan. Sumpah gue tadi bener-bener ikut merasakan emosi Qairina, sampe dia sendiri pingsan kan karena shock ngeliat sosok itu lagi, sosok lelaki yang berusaha dia lupain 3 tahun lepas," panik Fika, tangannya tak berhenti ia terus kepal-kepalkan untuk menghentikan gemetarnya.
Reya menangkup tangan Fika, Reya sama khawatirnya, walau masih belum paham apa kaitan semua ini, antara Faidhan dengan Rafasya dan kisah cintanya Qairina saat SMA pada saat itu.
Ketenangan yang Reya berikan pada Fika, sedikit berguna untuk digunakan. "Jangan menyalahkan diri sendiri, toh Faidhan sendiri gak balas pukulan lo kan, dia benar-benar menyesali apa yang telah dilakukan menurut pandangan gue," kata Reya.
"Dia bahkan membiarkan Qairina memukuli dirinya, dan lagi menahan rasa sakit yang mungkin di terimanya ketika lo melayangkan pukulan, tapi sakit itu gak akan sebanding dengan sakitnya cinta mereka yang tak bersatu. Pandangan gue terkait dua sosok ini adalah mereka masih sama-sama mencintai, namun yang satu terlanjur tersakiti, dan satu lagi terlanjur membuat keputusan." Reya sedikit menyimpulkan apa yang dirinya mampu lihat.
Reya bukanlah cenayang, bukan indigo, apalagi peramal. Dia sedikit tahu karena pernah mempelajari pikiran psikologi lewat mata.
"Maksud lo?" tanya Fika sedikit rasa penasaran.
"Kita tunggu aja lah penjelasan dari keduanya. Gue gak tahu pasti hati masing-masing orang," jawab Reya semantik celingukan, mencari sosok Qairina, siapa tahu Qairina membaca pesannya dan berubah pikiran untuk datang mengetahui keadaan Mantan pacarnya.
Sementara itu, Fika mengangguk-anggukan kepala tanda mengiyakan perkataan Reya.
Terlihat Rafasya yang kembali setelah berbicara langsung dengan Dokter Mikael. Rafasya mulai mendekat kepada mereka berdua, tangannya memegang sebuah piring yang sudah terisi oleh potongan buah-buahan.
"Kalian berdua pulang saja, biar saya yang jaga Faidhan, saya tahu apa yang dia butuhkan. Grab sudah saya pesankan, tunggu di depan saja. Terima kasih sudah membantu saya membawa Faidhan kesini. Tolong ... Jangan menyalahkan diri sendiri ya Fika, juga Reya tolong untuk tetap tidak membicarakan apa yang telah terjadi." Pinta Rafasya.
"Iya pak, saya akan jaga lisan saya agar tidak mengeluarkan kalimat yang sifatnya menyebarluaskan hal yang sudah terjadi ini." Jawab Reya.
"Terima kasih sekali lagi karena sudi menghantar saya," ucap terima kasih dari Rafasya.
"Kita berdua pamit pak, kalau ada apa-apa tolong kabarkan pak." Reya berpesan sebelum akhirnya mereka berdua benar-benar tidak lagi terlihat oleh pasang mata Rafasya.
'Ngabarinnya gimana dah? Saya kan gak ada nomor mahasiswa ataupun mahasiswi," keluhnya dalam hati.
"Bodo lah," Katanya seraya memasuki ruangan Faidhan.
Rafasya memasuki ruangan tersebut, dan mendapati ternyata Faidhan sudah terbangun dari pingsannya. Rafasya meletakan beberapa buah yang sudah terpotong di atas brankas dekat ranjang.
"Udah bangun lo?" tanyanya sekedar basa basi.
"Hmm," jawab Faidhan singkat hanya dengan berdehem.
"Papi bilang dia masih belum kelar urusan kantor, dia gak bisa jengukin lo kesini."
"Lagian siapa juga yang mau di jengukin sama bokap yang gak ada perhatiannya sama sekali ke anak." Cibir Faidhan.
"Dia peduli sama lo, bahkan waktu lo operasi di Australia, dia gak mau orang lain yang jagain lo. Cuma kali ini aja mungkin sedikit sibuk." Rafasya berusaha membuat Faidhan tetap tenang.
"Ya udah iya." Jawaban Faidhan seperti layaknya seorang wanita.
Bayangan Qairina yang memukuli dada bidangnya tadi di kampus kembali terbayang dalam pikiran Faidhan. Kemudian, dilanjut Qairina yang pingsan, Seperti lelah dengan semua yang terjadi pada dirinya sendiri.
"Qairina gimana? Aman kan dia pulang?" tanya Faidhan mengalihkan topik pembicaraan.
"Aman kok, cuma gue mau tanya lo," ucap Rafasya.
Faidhan menatap Rafasya, memberi isyarat untuk mulai saja berbicara tanyakan yang ingin di tanyakan.
"Sejak kapan?" pertanyaan ambigu dari Rafasya, membuat Faidhan menyatukan kedua sudut halisnya.
"Sejak kapan ini udah mulai kerasa?" tanya Rafasya sedikit lebih jelas. Faidhan paham akan arah pembicaraannya kali ini. Tangannya bergerak mengambil piring berisi irisan buah dan mulai memakannya.
"Kalau ditanya jawab jirttt," emosi Rafasya.
"Seminggu lalu." Jawabnya santai.
"What? Seminggu lalu dan lo gak bilang? Kalau aja lo gak ke kampus hari ini gue gak akan tahu separah apa penyakit lo ini."
"Emang separah apa?" tanya Faidhan masih dengan santainya.
"Pake nanya segala lagi. Gue tumbuk juga perut lo biar tahu rasa."
"Tumbuk aja biar gak nyakitin orang terus," balasnya.
"Lagian lo sih, mau gue ungkapin yang sebenarnya gak mau, salah siapa?" tanya Rafasya menohok.
"Gue gak mau di kasihani. Lo aja yang ngasihani udah cukup, gak perlu ada orang lain yang gue sayang."
"Sok-sok an lo, mental secuil tai kuping aja masih belagu. Apa kabar lo yang sekarang penyakitan gini?"
"Dari dulu kali penyakitan," sarkas Faidhan.
"Ya iya bener si dari dulu hahaaha," tawa Rafasya pecah.
Mereka berdua asik dengan obrolan random. Sesekali Rafasya pun mengingatkan agar tak terlalu berlebihan tertawanya Faidhan, karena jika berlebihan menag tidaklah baik bukan? Bukankah katanya Allah itu tidak menyukai segala yang berlebihan?
Di sela-sela senda gurauan pun, pikiran Faidhan masih tetap pada wanita yang ia rindukan, terlihat jelas wajah lelah Qairina saat terbaring tadi. 'Bukankah dengan gue pergi bisa lebih membuat hidup lo sedikit lega? Tapi ... Kenapa catatan yang Rafasya kirim isinya lo juga merindukan gue?' gumamnya dalam hati.
'Bolehkah sekali saja gue egois? Pengen rasanya gue meluk lo untuk terakhir kalinya.' Ucapnya yang kemudian kembali tertawa dengan candaannya bersama Faidhan.
✨✨✨
Lewat setengah jam gak ngaruh wir wkwkwk
Sorry gaess, tengah malem hampir Tahajud gini updatenya mwehehe.So, you like this part?
Jika ya tolong berikan pendapat nya dongVOTE NYA JANGAN LUPAAAA, SHARE JUGAAA!!!
![](https://img.wattpad.com/cover/352431556-288-k379724.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untukmu, Yang Ku Rindu {TERBIT}
Teen FictionSELAMAT DATANG DI STORY KE DUA AKU GUYSSS JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA. TINGGALKAN JEJAK DI POJOK KIRI BAWAH DAN TINGGALKAN KOMENTAR DI KOLOM KOMENTAR YA🤗 ✨✨✨ "Jika memang takdirnya aku tak bersamanya, tolong hilangkan rasa Rindu ini padanya...