17

1.3K 79 4
                                    

Hari ujian tiba. Alvin mempersiapkan diri untuk mencontek. Dia sudah mencatat contekan disatu lembar kertas kecil, kemudian ia lipat dan diselipkan ke kepala sabuknya.

Bukan hanya Alvin, banyak juga yang melakukan itu. Ada yang menaruhnya di saku, ada yang naruh di dalam laci, ada juga yang diselipkan di kaos kaki, ada juga yang di dalam sepatunya. Cara mencontek yang beragam.

Jam masuk tiba. Alvin ngerapiin bajunya agar terlihat seperti anak rajin yang gak mungkin nyontek.

Saat mengerjakan beberapa kali Alvin melirik ke arah Javaid buat minta contekan, sialnya Javaid seperti orang yang tak tau cara mendengar.

Masalahnya bukan hanya itu, semua yang Alvin tulis di kertas contekannya, tidak ada yang keluar satupun. Alvin bingung setengah mati, dia menyesal tidak belajar dengan benar. Sekarang dia tak tau harus menulis apa di kertas jawaban miliknya.

Pada akhirnya dia mengarang jawaban, ada juga yang dia tulis 'tak tau' atau 'maaf saya tidak tau dikarenakan soal ini terlalu sulit' Alvin sangat pasrah, padahal ini ulangan kenaikan kelas.

Enam puluh menit telah berlalu, teman-teman Alvin sudah mulai mengumpulkan jawaban. Padahal masih ada waktu 30 menit lagi, Alvin jadi kelabakan.

Soal Alvin masih sisa 20 yang belum dikerjain, pilihan ganda 17, uraiannya 3. Sudah begitu kepala Alvin sudah berdenyut nyeri.

Akhirnya Alvin menulis saja apa yang ada dipikirannya saat ini. Bisa gila Alvin lama-lama kalau memikirkan soalnya lebih jauh lagi.

Di depan ruang kelas, Alvin mendapati Dax tengah tersenyum padanya dengan membawa teh matcha untuknya.

Rasanya Alvin ingin menangis saat melihat Dax yang begitu perhatian padanya, padahal Dax juga lagi sibuk banget dan pasti pusing banget ngurusin nanti mau lanjut studi kemana.

Alvin cepet-cepet nyelesein soalnya, mengumpulkannya lalu berlari ke luar kelas.

Alvin memeluk Dax erat, dia tak peduli dengan orang-orang yang melihatnya aneh.

"Makasih, kamu udah minum? Minum bareng?"

Dax menggelengkan kepalanya, dia mencubit hidung Alvin sembari tersenyum lembut. Alvin hampir gila dibuatnya, terlalu tampan.

"Kamu mau lanjut kemana nanti?" tanya Alvin, mereka berjalan berdua menyusuri lorong menuju ke parkiran.

"Dekat sini."

"Kenapa? Kan bisa di luar negeri, atau luar kota, kok deket sini? Jangan bilang karna aku ya."

Dax menatap Alvin, wajah Alvin langsung memerah begitu tatapan mereka bertemu. Dax mengusak rambut Alvin.

"Kenapa harus jauh-jauh? Di sini juga kampus udah berakreditasi A, fasilitasnya juga bagus, banyak juga yang jadi orang sukses. Daridulu emang aku pengen kesana kok, sekarang sih ada alasan kedua."

Alvin diam-diam tersenyum, dia senang. Alasan Dax juga masuk akal, Alvin pikir dia akan ditinggalkan keluar negeri seperti apa yang dia baca dinovel-novel. Jujur Alvin belum siap buat ldr, tapi kalau itu Dax, tentunya Alvin akan berusaha.

"Kalau kamu?"

Alvin berpikir sejenak. Dia belum tau, boro-boro kampus mana, dia aja belum tau mau ngambil jurusan apa. Alvin pusing sendiri kalau dihadapin dengan pilihan itu, soalnya Alvin gak tau yang mana yang bagus.

"Belom tau, tapi kayaknya mau ke tempat yang sama kayak kamu."

Dax mengusak kembali rambut Alvin. Mau dipikirkan berapa kali pun, Alvin memang orang yang sangat manis dan lucu, apalagi cara dia yang memikirkan Dax.

DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang