Hari-hari dirawat di rumah sakit terasa damai, kedamaian yang langka. Selain harus menoleransi perhatian kakaknya yang berlebihan, Yoru bisa bersantai dan kondisinya membaik.
Dia jadi teringat akhir kehidupan pertamanya di mana dirinya menderita penyakit mematikan. Tidak ada peluang untuk sembuh dan operasi hanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk selamat.
Yoru menekan pelipisnya, bertanya-tanya apakah dalam kehidupan ini dia bisa terlepas dari takdirnya yang buruk?
"Yoru kecil, apa kepalamu sakit?" Reina memperhatikan tindakan tanpa sadar yang dilakukan Yoru. Kekhawatirannya meningkat.
Yoru tersadar dan segera menarik tangannya. Itu merupakan kebiasaannya setiap kali dia terlalu fokus memikirkan sesuatu. Bagaimanapun, kini dia masih anak kecil, dia harus bertingkah seperti anak-anak pada umumnya.
"Tidak, di mana kakak?" Hal pertama yang secara naluriah Yoru tanyakan itu membuat dirinya sendiri terkejut.
Mata senja Reina berkaca-kaca, dia berpura-pura sedih. "Apa hanya dia kakakmu? Yoru kecil, aku juga kakakmu! Kau menyakiti hatiku yang rapuh," keluhnya sambil memasang ekspresi berkerut.
Yoru tercengang, dia buru-buru mencoba menghibur kakak perempuannya. Dia mendekati Reina dan memeluk lengannya seperti koala. "Kakak juga kakakku. Maaf...."
Melihat keimutan tingkah adik kecilnya, sudut mulut Reina bergerak-gerak. Dia menahan senyumnya dan terus berpura-pura sedih sambil menepuk-nepuk punggung Yoru.
"Benar, aku kakakmu juga. Jadi, maukah kau tinggal bersamaku? Aku memiliki lebih banyak waktu luang untuk bermain denganmu daripada kakak laki-lakimu itu. Bagaimana?" Reina melancarkan bujuk rayunya yang telah dia persiapkan sejak lama.
Dia enggan membiarkan saudara kembarnya yang gila itu merawat Yoru kecil yang manis. Siapa yang tahu apakah orang gila itu bisa merawat adik kecil mereka dengan baik atau tidak?
Bagaimana jika Yoru kecil tidak mendapatkan pendidikan yang benar dan menjadi tersesat?
Sebelum Yoru dapat menjawabnya, sesuatu mengejutkan mereka.
Braak!
Suara pintu digeser terbuka dengan keras dan pria yang sibuk seharian itu akhirnya datang. Dia jelas mendengar pembicaraan keduanya dan ekspresinya gelap.
Rambut hitamnya terlihat berantakan dan pakaiannya kusut. Dia sepertinya buru-buru datang tepat setelah menyelesaikan pekerjaannya. Dia tidak lagi mengenakan lensa kontak semenjak Yoru kecil menerimanya, jadi mata merahnya itu terlihat berbahaya.
Kaisel tidak lupa membawakan makanan untuk adik kecilnya di tengah kesibukannya. Jika bukan karena ada beberapa hal penting yang perlu dia lakukan, dia tidak akan meninggalkan Yoru bersama Reina.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya dengan nada rendah.
Reina menahan rasa menggigil di punggungnya dan berpura-pura tidak mendengar pertanyaannya. Dia masih menunggu jawaban bayi imutnya.
"Aku ...." Yoru kecil ingin menjawabnya, tetapi dia melihat tatapan kakaknya yang terlihat terluka.
Itu membuatnya mendorong Reina, lalu turun dari tempat tidurnya dan berlari ke arah kakaknya. Dia memeluk kakinya dan berbicara dengan suara imutnya, "Kakak, aku merindukanmu."
Dia tidak memiliki konflik tentang rasa malu dan semacamnya. Setelah menjalani dua kehidupan penuh kesialan dan kesepian, menjadi anak kecil dan berpura-pura polos bukan hal sulit.
Lagipula, dia tidak ingin kakaknya merasa sedih. Jadi, dia harus melakukan ini untuk menghiburnya.
Yoru kecil yang malang tidak menyangka jika efeknya lebih besar daripada yang dia kira.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Became the Villain's Little Brother
FantasíaBrothership, kyut~ Menulis ini untuk penyembuhan hati dengan plot modern fantasi. Cerita Original! Bukan fanfic atau terjemahan! Deskripsi : Yoru membaca kisahnya sendiri dalam sebuah buku misterius yang dia temukan. Di kehidupan keduanya itu, di m...