02: Rapuh

444 299 158
                                        

Tiga hari kemudian.

Sukma masih belum keluar dari tempat tinggalnya di Agartha untuk pergi berperang melawan para Mavros. Selama tiga hari terakhir ini, ia dibayang-bayangi rasa cemas yang luar biasa. Ia acap kali harus memuntahkan isi perutnya karena rasa takut yang berlebihan.

"Ini bukan kenyataan, ini hanya mimpi, aku pasti hanya sedang tertidur di taman! Iya kan? Pasti ini semua hanyalah ilusi!" Itulah yang selalu ada di benak Sukma. Ia masih tidak bisa menerima takdir yang kini telah menghampiri kehidupannya.

Berkali-kali pun dia menolak, dia takkan bisa mengubah apapun karena itulah kenyataannya. Dia harus menerima dan menghadapinya dengan ataupun tidak terpaksa.

Namun ditengah-tengah rasa takut yang menghantui, ia selalu berdoa dengan khidmat dan tulus dalam keikhlasan. Ia sadar ia bukanlah seseorang yang selalu berbuat baik dalam hidupnya. Namun, ia juga menyadari kalau hanya Tuhannya lah yang bisa menolongnya dan menurunkan rasa aman dan tentram kepada hatinya yang gundah gulana.

Saat ia sedang merenung dengan penuh kesunyian, tiba-tiba suara ketukan dari pintu tempat tinggalnya terdengar beberapa kali. Saat Sukma membuka pintu, ternyata ia adalah Ji Dai, orang yang menyambut Sukma saat pertama kali datang ke Agartha.

"Ada yang harus kita bicarakan, Tuan Sukma." Ucap Ji Dai.

Sukma mengerutkan dahinya tanda bingung dan ia pun dengan nada rendah menjawab, "Soal apa, Ji Dai?" Tanya Sukma sambil mempersilahkan Ji Dai duduk di bangku.

"Soal tugasmu sebagai seorang Atirath dan juga soal senjata yang kau miliki." Jawab Ji Dai.

"Maafkan aku, aku memanglah seorang pengecut yang tidak bisa menerima kenyataan." Ucap Sukma dengan penuh kepasrahan.

"Karena itulah aku datang. Kau tidak perlu khawatir, Agartha tidak mungkin salah dalam memilih seseorang sebagai Atirath. Semua yang dipilihnya sudah pasti seseorang yang mampu dan layak dalam mengemban tugas mulia. Di samping itu, kau tidak perlu takut dan cemas soal kematian, pergi atau tidaknya dirimu ke medan perang, dimana pun dan dengan apa pun kamu berlindung, kematian pasti akan mendatangimu kalau memang sudah waktunya. Dan bukankah lebih baik mati disaat kau memperjuangkan sesuatu yang baik dan benar? Bagiku itu adalah kematian yang terhormat." Jelas Ji Dai panjang lebar.

Sukma yang mendengarkan hanya terdiam. Tanpa sadar, air mata menetes dari kedua matanya, ia pun mengusapnya sambil berkata, "Lalu, soal senjata?" Tanya Sukma.

"Aku ingin menjelaskan ini kepadamu sebelum kau terjun berperang. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan siapa diriku sebenarnya. Disini aku adalah seseorang yang diberikan kemampuan untuk bisa melihat makna dari senjata yang dipakai oleh tiap Atirath. Artinya, aku bisa melihat makna dari setiap bentuk sejati jiwa kalian. Seperti yang kau tau, senjata yang digunakan oleh para Atirath adalah manifestasi dari jiwa mereka. Lalu aku melihat kalau senjatamu itu rapuh, sama seperti dirimu." Jelas Ji Dai.

"Kurasa itu tak salah." Ucap Sukma sambil menundukkan kepala.

"Ya, itu memang tampak jelas dari caramu menyikapi semuanya. Tapi aku melihat hal yang lain, senjatamu itu bukan jati dirimu yang sesungguhnya." Sambung Ji Dai.

"Apa maksudmu?" Tanya Sukma bingung.

"Entahlah, aku merasa ada yang aneh, memang benar senjata itu masih sesuai dengan apa yang tergambar dari dirimu, namun ada hal lain yang tersembunyi, aku bisa merasakannya namun aku tak tau apa itu. Pesanku hanyalah, kau harus berhati-hati menggunakan senjatamu di dalam pertempuran. Kau harus menggunakan teknik yang efektif agar kerismu tidak hancur. Karena jika senjata seorang Atirath hancur, maka itu tidak bisa kembali lagi. Walaupun seorang Atirath bisa membunuh Mavros dengan menggunakan Artheion dan memanupulasi elemen alam, namun ketahuilah bahwa sesungguhnya menyatukan dua kekuatan berbeda antara Senjata Jiwa dengan Artheion jauh lebih kuat dan efektif." Jawab Ji Dai.

Blade Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang