Prolog

62 17 3
                                    

Hai, Bum!
Apa kabar kalian semua?
Aku mengharapkan kalian sehat selalu. Semoga bisa enjoy ya ... dengan karya Buwin yang satu ini.

Jakarta, 2015Akratama Hospital

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 2015
Akratama Hospital

Putih, ya ... hari-hari ku tak jauh dari warna itu. Tempat yang selalu aku hampiri setiap minggu ini sudah seperti rumah. Sebenarnya aku enggan berada dalam ruangan ini lagi. Namun, apa daya si jantung ini memerlukan perlakuan lebih. Seingat ku sedari SD selalu menghampiri tempat ini.

Sore gini enaknya cari angin. Aku paling suka dengan taman belakang. Di sana ada banyak anak kecil dan lansia tengah menikmati waktu senja. Ada yang sendiri ada pula yang ditemani. Tak jarang aku bertemu dengan orang baru di sana. Akan ada pertemuan dan perpisahan kalau di tempat ini.

Kaki kecil ini membawaku pada bangku paling ujung di bawah pohon Bayan. Pohon itu cukup besar, jadi dibawahnya sangatlah teduh. Jika hujan gerimis aku bisa berteduh di sini sembari menunggu suster menjemputku. Hari ini cukup sepi rasanya, tidak ada anak-anak kecil. Nenek yang acap kali tertawa juga tak nampak rimbanya.

Aku memutuskan untuk menunggu kakek Cokelat, ia akan memberikan aku apa ya ... hari ini?
Biasa aku dan anak-anak yang ada di sini akan diberikan permen ataupun cokelat, makanya dia disebut dengan kakek Cokelat. Tidak pernah absen beliau memberikan kami cemilan. Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah lima, biasa jam segini ramai sekali.

Ya sudahlah, aku kembali ke kamar saja. Berjalan menyelusuri lorong cukup mengerikan rupanya. Baru setengah perjalanan dadaku terasa begitu nyeri. Padahal hari ini aku sudah minum obat. Bunda, ini sakit sekali tolong Nerissa. Aku bersimpuh masih dengan memegang dada, nyerinya semakin menusuk lalu gelap yang kudapati.

Putih lagi. Yah, pasti aku pingsan. Nerissa apa yang bisa kau harapkan dari dirimu ini? Lelah sedikit saja sudah pingsan. Gimana mau jadi atlet kalau kaya gini? Yang ada kalah dulu. Jika Dokter Arjuna tau dia pasti mengomel lagi.

"Sudah bangun? Lagian kamu kenapa pergi sendirian? Masih masa pemulihan, Rissa." Tuh, betul saja suara menyebalkan itu berasal dari salah satu dokter yang merawatku.

Jika dibandingkan dengan Bunda, dokter satu ini jauh lebih cerewet. Setiap hari akan mengoceh tentang banyak hal. Lagian kenapa Bunda terus membawaku kerumah sakit ini? Sudahlah lebih baik aku tidur saja!

"Kakek cokelat, sudah berpulang, Sa."

Deg! Jantungku terhenyak, bukan ngilu seperti biasa ia seakan berhenti sejenak. Lantas aku duduk masih tidak terlalu mencerna keadaan. Lalu kebisingan ruangan serasa lenyap dan nafas serasa tak terhembuskan. Lalu Dokter cerewet itu memeluk sembari mengusap pelan punggungku.

Luruh sudah air mata ini, aku bukan tipikal yang bisa menahan tangis. Tangisan itu mengisi kekosongan ruangan Dandelion. Tak dapat dipungkiri jika aku merasakan kehilangan. Kakek itu sering menjadi tempat keluh kesah ku dan ia sering pula bercerita tentang banyak hal. Berbagi dan memberi adalah rutinitas kami.

Aku memandangi dua buah permen di atas nakas, itu pemberian terakhirnya. Aku ingin memakan rasa itu saat ia menceritakan tentang putri kecilnya. Namun, apa dikata cerita itu turut pergi bersamanya. Berat sekali rupanya kehilangan ini. Tidak ingin aku mendapatinya kembali.















Cast:

Nerissa Cameron

Nerissa Cameron

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|
|
|

Arjuna Pangestu

Arjuna Pangestu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



















Bagaimana dengan prolog ini?
Apakah sudah bisa menimang-nimang cerita apa ini?
Kita lanjut di next pertemuan.
Mari tersenyum, Yeorobun!

Datang lalu Pergi || Usai✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang