Ayie dan lelaki Belanda

25 12 11
                                    

Apakah hari ini kalian sudah tertawa?

Hari-hari berlalu begitu saja dan aku masih belum menyudahi tanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hari-hari berlalu begitu saja dan aku masih belum menyudahi tanya. Menjejali kehidupan seseorang yang jauh dari kata diriku. Tinggal di era ini seperti mimpi buruk, terus memaksaku untuk terikat lalu perlahan membuatku semakin terjerat. Ada ragam rasa aku dapatkan di sini.

Tentang perjuangan para pahlawan tiada habisnya setiap hari. Terseok-seok bahkan kehilangan sebagian anggota badan mereka masih meneriakkan kata semangat. Peluh dan darah tiada bedanya sama-sama mengucur deras. Hanya derai air mata kami simpan di sepinya malam.

Melihat keluarga Ayie yang masih utuh ini membuatku sedikit iri. Bisa merasakan kehangatan digempuran gila dari serdadu Belanda merupakan hal yang sangat luar biasa. Masih ada syukur diantara kecamuk tiada usainya ini. Menatap satu sama lain lalu terbentuklah sebuah senyum semu bercampur ngilu.

"Ayie, apakah kamu tidak bertemu dengan pria itu lagi?"

Pria? Siapa yang dimaksudkan Ummi? Apakah para pembuat obat? Ataukah para pejuang kemarin? Tidak mungkin, beliau pasti sedang sibuk-sibuknya. Mungkin seseorang yang belum kutemui.

"Itu Ayie, pria Belanda yang membantumu. Biasa kau akan bertemu dengannya saat sore menjelang." Gadis seumuran Ayie itu sumringah ketika menjelaskannya.

Aku lantas beranjak dari kursi bambu, mencari alas kaki lalu pergi meninggalkan rumah. Rasa-rasanya itu dari surat ini. Selembar kertas bertuliskan ... aku tidak tau apa ini. Nampaknya di dekat danau. Aku menyelusuri semak belakang rumah.

Nampaknya kulit ini masih sensitif, tetap saja gatal jika terlalu lama keluar dan menyentuh rerumputan. Seharusnya tubuh Ayie sudah terbiasa dengan hutan dan debu namun, kenapa masih gatal, ya? Masih jauhkan danau yang diceritakan oleh Huyai? Entahlah, katanya aku hanya perlu berjalan lurus saja.

"Ayie, sudah lama tidak bertemu denganmu." Suara itu memelukku, hangat dan wangi.

Tunggu siapa dia? Aku tidak bisa mendorongnya begitu saja, siapa tau ini orang penting untuk Ayie. Bisa panjang urusannya jika aku melakukan hal tidak baik padanya. Ia masih memeluk semakin kencang bahkan. Enak juga dipeluk. Ya Tuhan! Sadar Nerissa!

Lalu aku melepaskan pelukannya perlahan. Aku mulai sedikit menjauh dan melihatnya lebih lama. Wahh, kali ini aku benar-benar bisa melihat rupa orang Belanda tepat di depan mataku. Pakaiannya saja semewah dan serapi ini, berbanding jauh sekali dengan baju yang kukenakan.

Badannya tinggi tegap yang pastinya berkulit putih. Rambut blonde miliknya sungguh mempesona. Ya, Tuhan senyumnya sangat indah ada sepasang lesung pipi rupanya. Lihat hidung mancung miliknya itu, apakah ia tidak ingin membaginya denganku?

"Apa kau baik-baik saja?" Suaranya berat namun, enak untuk didengar.

"Ya ... aku baik-baik saja, Tuan." Entah apa sapaan ku ini, aku harap ia tidak tersinggung.

"Hei, santai saja Ayie. Biasa kau akan memanggilku dengan nama." Malunya, aku ingin cepat pergi dari sini.

"Edwin! Wah kamu kemana aja!" Tunggu ia menirukan Ayie? Wahh, ternyata ia lebih mahir ketimbang diriku.

Lalu kami tertawa bersama. Duduk di hamparan rumput tidak seburuk itu rupanya. Dari yang ia katakan jika setelah kejadian Ayie tertimpa runtuhan bangunan itu, ia dikurung selama dua Minggu oleh ayahnya. Katanya rindu berat pada Ayie, ia juga mengatakan kalau akan menghabiskan beberapa hari ini bersama Ayie saja.

Ayie, kekasihmu sungguh menarik. Ia membawa biola dan memainkannya dengan anggun. Wajah tenangnya dan alunan melodi menyatu dengan alam. Semburat jingga merona di atas mulai menampakkan dirinya. Seperti enggan ia berpisah dengan Ayie. Namun, akan lebih berbahaya jika pulang saat malam tiba. Bisa saja aku dimakan hewan buas atau tertangkap serdadu Belanda.

Kami berpisah. Dengan wajahnya yang ingin mengatakan sesuatu aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa aku lebih mementingkan keselamatanku ketimbang pria Belanda bernama Edwin Hubble itu. Aku tak lagi menoleh kebelakang, hanya fokus pada tujuan. Pulang.

"Siapa dia?"










Cast:

Edwin Hubble



















Hai, Bum!
Apa kabarnya?
Mari tertawakan kejadian hari ini!

Datang lalu Pergi || Usai✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang