Filtrasi Rasa, Ketiga!

231 28 8
                                    

>>,<<

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

>>,<<

Jika Jakarta penuh sesak akibat ibukota Indonesia masih menjadi ikon penuh lautan para pendatang, pekerja asing yang datang dari desa-desa kecil, menetap di lingkungan padat penduduk. Gesekan roda pada aspal hitam nan mulus tiada henti menjadi melodi setiap hari. Acapkali hujan mengguyur, bukan lagi udara menyejukkan mengundang suasana nyaman, justru gerah membakar seluruh perasaan. Teriakan klakson nyaring di telinga, nyaris membuat banyak orang selalu saling melempar umpatan meski belum sempat berkenalan. Sekumpulan awan abu-abu pekat, bahkan menghitam seiring berjalannya waktu selalu menghias di atas nabastala. Menutup hampir seisi persepsi kehadiran sang surya, belum lagi uap udara yang bukan lagi masak untuk siap menyeruak di rongga filtrum seseorang. Sesak.

Jakarta tidak pernah sepi seperti hati. Namun, ini bukan cerita mengenai kota padat manusia bersama serba-serbi langkah tangan dan kaki.

Perjalanan panjang kehidupan tidak pernah bisa dibilang mudah oleh seseorang. Malam kembali datang, seperti kegelapan lagi-lagi menyerang. Kontras bersama suhu ruang tak terdeteksi oleh mesin penghitung, udara bergerak bebas tanpa peduli manusianya tengah kedinginan.

Di atas bukit menjulang, seorang pemuda tengah berdiri. Menatap pemandangan rembulan, bercahaya terang tanpa kehadiran teman. Langit bersih, hanya menyisakan kehitaman meluas layaknya samudera paling dalam. Tatapannya tidak beralih sama sekali, meski terdengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Lo mau mati juga?"

Pemuda yang baru saja datang bertanya enteng, di tangannya ada sebuah pisau berkilauan. Sepertinya baru diasah dan terlihat seperti baru. Lelaki itu duduk tanpa perizinan.

Tidak ada balasan, tatapan kosong mengarah ke rembulan. Lagi-lagi ia tidak dapat merasakan hatinya bergulat dengan pikiran yang bercabang. Di atas rumah pohon kecil, terdengar suara-suara barang berjatuhan, seperti tengah membuat uji coba entah untuk apa. Lalu pemuda itu kembali kedatangan dua orang lain lagi tengah membawa seutas tali di tangan. Tatapannya santai, disusul oleh anak lelaki berseragam acak-acakan. Hampir seluruh wajahnya babak belur, kemeja putihnya lusuh penuh noda merah di mana-mana. Lelaki itu masih sempat tersenyum, sebelum menjatuhkan diri berbaring di atas bukit.

"Kirain nggak ada orang, ternyata ramean." Aswarta Kalana menyambut.

Lengkap sudah sampai lima belas menit kemudian.

Pertama, Sabrang Atreya Reyhan. Lelaki itu berdiri, datang paling awal bersama tangan penuh darah di bagian lengan. Mukanya lebam, tetapi tak selebam anak tinggi yang terakhir datang bersama seutas senyum. Rey masih berada di posisi sama seperti semula, menatap rembulan tanpa mengalihkan perhatian.

Si anak muda tengah berbaring di atas rumput bernama Adityawarman Baladewa. Mukanya hampir hancur jika diperhatikan lebih dekat, tetapi senyumnya tidak pernah luntur. Tangan kanan digunakan untuk bantalan kepala, sedang tangan kiri menyusup menghalau sinar yang masuk ke dua bola mata.

Re-(Play)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang