>>,<<
"Rey, darimana?"
Langkah kakinya terhenti. Rey menoleh ke belakang, mendapati sosok sang ayah sedang berkacak pinggang. Matanya menelisik lekat, sedang air mukanya tak sedap. Alamat, jika ia akan kembali menjadi bulan-bulanan orang rumah setelah ini.
"A-anu, Yah," jawabnya gagap.
Adipati Krishna Lakshmana, lelaki setengah abad itu beralih menatap laki-laki yang berdiri tidak jauh dari sang anak. Adi menelisik wajah-wajah asing dari pemuda itu.
"Rey? Ini siapa? Muka kalian juga kenapa babak belur gini?"
Tamatlah riwayatmu, Rey!
Padahal sumber cahaya di dapur hampir terhalang semua, menyisakan kegelapan. Maklum, ini sudah pukul dua dini hari dan anak lima belas tahun itu baru menginjakkan kaki di rumah. Siapa yang tidak marah? Meski ia laki-laki dengan kebebasan terhadap diri sendiri.
Laki-laki yang disebut oleh Adi menunduk dalam. Ia hanya takut apabila setelah ini dirinya diusir dari tepat itu, kendati satu-satunya tempat untuk bermalam adalah rumah Rey.
Rey melihat teman barunya yang sedikit ketakutan, membuat ia mengembuskan napas panjang.
"Yah, marahnya dipending dulu, ya? Ayah bebas marah, tapi besok aja. Ini Ghaffar, teman baru Rey. Tadi gak sengaja ketemu di jalan, dan maaf banget tadi Rey pergi gak pamit ke Ayah. Ayah tenang aja, Rey gak aneh-aneh kok, Rey cuma ke rumah una tadi." Dalam hati, Rey komat-kamit tidak jelas. Semoga saja sang ayah dapat memaklumi alasannya kali ini. "Lagian udah pagi, Yah. Masa Ghaffarnya dibiarin luntang-lantung di jalan?"
Adi masih diam, mencari letak kebohongan yang Rey simpan.
"Ya udah, anterin ke kamar tamu. Kalau mau tidur sama kamu juga gak apa-apa, nanti ambil selimutnya di kamar belakang. Habis ini ke kamar Ayah! Ayah tunggu."
Setelah punggung Adi menghilang dari skleranya, Rey sedikit bernapas lega.
"Bokap gue baik kok. Mungkin beliau kaget aja, karena tiba-tiba banget gue bawa temen ke rumah dan di jam segini pula. Selow aja, jangan tegang gitu kek ketahuan BK aja," jelas Rey ketika melihat Ghaffar terlihat tak nyaman dengan sikap ayahnya.
Ghaffar mengangguk singkat. "Gak apa-apa kok. Gue jadi keinget bokap di rumah juga. Btw, makasih udah mau nampung gue."
"Halah, santai aja kali. Tadinya gue mau ajak lo ke kosan, tapi keinget kalau kasurnya cuma satu. Makanya gue ajak pulang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-(Play)
Teen FictionPerjalanan membenahi apa yang tidak seharusnya terjadi. Memperbaiki kesenjangan ada pada titik individu pribadi. Menyusun ulang balok potret kehidupan ke dalam susunan bingkai. Pertemuan selalu berakhir perpisahan. Hanya tergantung orang-orangnya...