PROLOG

583 50 6
                                    

This is it, Flo! Akhirnya terjadi juga kan yang lo takuti selama ini!

Aku membatin sambil memijit-mijit kening yang mulai terasa pening. Untung saja jam istirahat belum selesai, jadi orang-orang di ruangan kerjaku belum kembali dari makan siang. Hanya ada aku sendiri yang sedang meringkuk di kubikel sambil mendengarkan omelan bapakku melalui telepon.

"Wes to nduk, pulang saja!" sentak Bapak dari seberang.

"Pak, Flo lagi banyak banget kerjaan. Bulan depan aja ya pulangnya," jawabku dengan nada setenang mungkin untuk meredakan emosi Bapak. Namun gagal, nada bicara Bapak justru makin meninggi.

"Pulang! Nggak usah kerja di situ lagi! Bantu Bapak urus katering ibumu!"

Aku mendesah kesal. Ini sudah ketiga kalinya dalam bulan ini Bapak memintaku pulang ke Jakarta. Pulang bukan untuk berkunjung, tetapi pulang untuk seterusnya dan meninggalkan pekerjaanku di Bandung.

"Pak, Flo nggak suka masak, nggak suka bikin kue, gimana bisa ngurusin katering? Bapak tahu itu kan?"

"Kamu nggak perlu masak kalau memang nggak mau masak, Bapak cuma minta bantu urus!"

"Nggak segampang itu, Pak. Karyawan udah nggak ada, lalu siapa yang mau masak, kirim, belum lagi kalau acara pernikahan. Ribet, Pak!"

"Justru karena itu Bapak minta kamu pulang. Kita cari karyawan dan bangun lagi Buttercream dari nol!"

"Tapi Pak—"

"Nduk, ngertio tah! Bapak itu kangen Ibu!"

Kalimat Bapak barusan menonjok ulu hatiku. Aku sampai tergagap dan tidak tahu harus menjawab apa.

"Bapak kangen rumah yang bau mentega, adonan yang baru matang, suara mixer," lanjut Bapak. Suaranya serak.

Ada jeda keheningan yang cukup lama karena aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya dengan satu kalimat itu saja, tapi aku langsung bisa merasakan hati Bapak yang hancur. Terlintas di kepalaku uban yang mulai tumbuh di sela-sela rambut hitam Bapak, tangan keriputnya yang mungkin kini tak kuat lagi menggendong cucu-cucunya—anak-anak kakakku. Suasana rumah pasti sunyi karena bapak tinggal hanya berdua dengan Mbak Rum, asisten rumah tangga kami.

Aku tahu bapakku kesepian. Tapi tetap saja, pulang ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaanku di Bandung tidak semudah itu. Meski karir dan kehidupanku di Bandung begitu-begitu saja, tapi aku mencintai pekerjaanku.

Rasanya ingin marah. Di satu sisi aku tidak mau menyia-nyiakan apa yang sudah kuperjuangkan dari nol, tetapi di sisi yang lain, aku masih seorang anak yang punya tanggung jawab untuk berbakti pada orangtua. Apalagi orangtuaku tinggal satu. Bapak.

"Pulang ya, Nduk." Suara bapak yang masih serak memecah keheningan di antara kami.

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, "Nggeh, Pak."

***

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang