"Kok malah bengong?"
Sekarang Kael sudah duduk di depanku. Sambil menyesap secangkir cappucino panas, dia menatapku tak berkedip. Dagunya diangkat lebih tinggi dari biasanya dan pose duduknya sungguh menyebalkan. Kaki kanannya memangku kaki kiri. Kedua tangannya bersedekap. Dih, mengganggu mataku saja. Kualihkan pandanganku ke arah lain sambil mendesis.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Sejujurnya aku masih belum terbiasa melihat Kael berada di dekatku dengan mengenakan pakaian seperti itu. Iya sih, biasanya juga dia selalu rapi dan necis, tetapi kan masih dengan pakaian yang umum seperti kemeja, jaket, atau blazer.
Double breasted jacket chef yang sekarang melekat di tubuhnya itu membuatku sedikit, ehm terintimidasi. Aku masih agak-agak nggak percaya sebenarnya, tetapi nggak mungkin dia cuma cosplay jadi chef kan?
"Lo nggak mau ganti baju dulu gitu?" kataku terus terang karena mulai tidak nyaman dengan pemandangan—ehm ya memang jadi lebih ganteng sih dia, tapi aku terlalu berat untuk mengakui itu jadi lebih baik kalau tidak usah dilihat kan?
"Ini kan jam kerja," jawabnya.
"Kalau jam kerja, ngapain lo malah ngajakin gue meeting sekarang. Emang lo nggak bakal dimarahin?"
"Dimarahin siapa? Pegawai gue? Kafe, kafe gue, ya suka suka gue mau ngapain." Kael menjawab dengan enteng.
Aku mendesah panjang sambil memijit-mijit kepala. Perasaan terintimidasi yang tadi menyerangku sekarang lenyap, berganti dengan rasa kesal seperti biasanya. Aku jadi tahu niat aslinya memintaku ke sini.
"Oh, lo nyuruh gue ke sini buat pamer kalau lo punya kafe?" tuduhku.
Pria di depanku itu terkekeh. Sama sekali tidak terganggu dengan tuduhanku yang artinya memang benar, dia mau pamer! Dia ingin aku tahu kalau dia punya kafe dan dia adalah chef pastry di sini. Semacam ingin menunjukkan bahwa dia punya kemampuan yang lebih dari aku.
"Bukan gitu, gue ajak meeting di sini biar nyaman aja," jawabnya membela diri.
Aku tidak akan semudah itu percaya.
"Kenapa? Lo kagum ya sama gue," tanyanya dengan senyum menggoda. "Gue ganteng ya pakai baju kayak gini?" godanya lagi. Kedua tangannya menepuk-nepuk seragam hitamnya.
"Sama sekali tidak!" jawabku sambil menyeruput Iced Americano yang tinggal setengah gelas. Si songong itu terkekeh puas.
"Ya udah buruanlah, keburu gue telat ke stasiun," lanjutku gusar, sebelum si songong ini semakin menyombong ke mana-mana. Lagipula aku tidak peduli ini kafe miliknya atau milik bapaknya. Yang jelas aku sudah terlanjur kesal diajak meeting mendadak seenaknya begini. Pantas saja dia selalu merasa sok pintar dibanding aku. Ternyata dia punya rencana ingin pamer bahwa dia lebih profesional di bidang ini. Sialan.
***
Diskusi alot antara aku dan Kael sudah berlangsung satu jam lebih dan kami belum juga menemukan titik tengah. Justru semakin saling ngotot.
"Nggak, nggak, nggak. Jajanan pasar itu wajib!" ucapku sambil mengetuk-ngetuk layar ipad.
"Ngapain pakai jajanan pasar kalau udah ada dessert lain? Boros!" sergah Kael.
"Lola pasti suka. Buktinya kemarin dia nggak komplain gue input jajanan pasar ada di deretan buffet," jawabku membela diri.
"Terlalu banyak. Udah ada cheese cake, sate buah sama coklat fontain, kue-kuean, pastry!"
"Gue tetap akan bikin jajanan pasar buat food test. Titik. Meeting selesai!" Aku sudah lelah dan harus segera mengejar kereta ke Bandung. Kalau terus menerus berdebat bisa-bisa aku ketinggalan kereta.
"Oke. Tapi gue yang bikin!" ucap Kael sambil menatapku tajam.
Aku berdecak. "Gue juga bisa bikin kali. Dibantu sama Mbak gue, Mbak gue jago."
"Dengar ya, Flo. Meskipun Lola kakak gue, bukan berarti dia nggak bisa ngebatalin kontrak katering lo. Kalau dia nggak puas dengan food test-nya, gue sendiri yang akan bilang Lola buat nyari katering lain," jelas Kael serius.
"Kalau kayak gitu, kenapa nggak dari awal aja pakai katering yang udah terkenal dan berpengalaman. Kan udah tahu kalau gue baru megang katering ini. Kalau gue udah berusaha tapi ternyata Lola nggak puas, gimana?"
"Kalau bukan karena Bu Sandra juga gue bakalan nyari katering lain. Bu Sandra bilang, lo bisa manage katering ini dengan baik, tapi lo nggak bisa masak. Makanya gue diminta bantuin juga."
Harga diriku tersentil. "Gue bisa masak! Enak aja!"
"Tapi kan lo bukan tukang masak profesional."
Aku mendengus. "Kalau gue masak buat katering gue, ya artinya gue udah profesional dong!"
"Tapi belum berpengalaman!"
Aku menghela napas lebih keras. Sumpah, ini buang-buang waktu. "Gini deh, kalau emang lo nggak yakin sama gue, batalin aja! Malas gue diraguin kayak gini!" sentakku sambil beranjak berdiri.
Tiba-tiba tangan Kael menyentuh lenganku, menahan agar aku tidak pergi. Sentuhan tangan Kael membuatku sedikit terkejut hingga kurasakan darahku berdesir.
"Sori, sori gue berlebihan. Please duduk lagi. Gue akan jelasin," ucap Kael.
Akhirnya aku kembali duduk. Kualihkan pandanganku ke arah lain karena masih kesal padanya.
"Gue dan Lola yatim piatu."
Aku mengesah perlahan. Damn, kenapa dia membuka penjelasan dengan sesuatu yang sensitif. Aku terpaksa kembali menatapnya karena aku tidak ingin dianggap tidak punya empati.
Kael melanjutkan kalimatnya dengan tatapan mata yang lebih sendu. Apakah dia benar-benar sedih?
"Kami cuma punya satu sama lain sekarang. Karena itu gue selalu pengin turut andil dalam nikahan kakak gue. Gue pengen dia mendapatkan yang terbaik. Tapi, kan nggak mungkin gue tiba-tiba nyelonong ngerecokin katering orang yang gue nggak kenal," jelas Kael.
"Sebelum kita ketemu di Belle ame juga kita nggak saling kenal. Kenapa sekarang lo ngerecokin katering gue! Nggak masuk akal argumen lo!" Sungguh, aku sudah berusaha untuk tidak kasar.
"Bu Sandra menganggap kita cocok. Gue butuh wahana buat mengeksplor kemampuan gue sekaligus membanggakan kakak gue di hari pernikahannya. Dan lo, lo butuh gue buat membangun kembali katering lo."
"Wahana? Lo kata katering gue kora-kora dufan?"
"Mau nggak mau, lo kan udah setuju."
Aku mendesah panjang. "Ya udah, mau gimana lagi. Gue udah terlanjur tanda tangan kontrak."
Seingatku di kontrak yang disodorkan Bu Sandra tidak ada tuh tulisan yang menerangkan bahwa akan ada seorang pria sombong dan tukang maksa yang akan bergabung atau lebih tepatnya, ngerecokin pekerjaanku sebagai vendor katering pernikahan Lola dan Kael. Seharusnya aku bisa menuntut kan ya? Aku sudah terlanjur tidak bisa berkata-kata terjebak dalam lingkaran ini. Sudah bisa kuduga, ini semua memang karena campur tangan Bu Sandra.
"Ya udah. Lo tiga hari aja di Bandung. Pulang dari Bandung kita mulai,"
Aku mengernyit. "Kok lo jadi ikutan ngatur jadwal gue yang di Bandung juga sih? Nggak bisa. Gue butuh lima hari di sana."
"Kok lo keras kepala sih Flo."
"Urusan gue belum kelar di sana Kael, gimana dong? Gue harus beresin kerjaan gue dulu, gue harus persiapkan pengunduran diri, gue harus packing dari kosan. Banyak!"
"Kemepetan tau waktunya buat nyiapin food test kalau lo lima hari di sana," sahut Kael.
Aku sudah kehabisan kesabaran. "Nggak akan. Gue bisa atur semuanya, asal lo nggak ngerecokin aja. Udah gue nggak mau urusan gue ditawar!" ucapku tak kalah tegas.
"Tiga hari!" seru Kael belum menyerah.
"Lima! Titik!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE HATE BUTTERCREAM
RomanceFlorissa Yasmin dianggap remeh ketika mencoba membangun kembali Buttercream, usaha katering keluarganya yang mati suri. Si tukang komentar yang meremehkan Flo adalah pria bernama Mikael Bramastha. Kael, seorang klien Belle Ame, Wedding Organizer mi...