Hari ini Bu Sandra mengirimiku email yang berisi daftar menu yang diminta Lola untuk pernikahannya. Email kuterima ketika aku baru saja keluar dari stasiun MRT Blok M. Aku ada janji dengan sahabatku, Kiky, pukul sembilan dan sekarang sudah pukul setengah sepuluh. Karena terburu-buru akhirnya aku menunda untuk membaca detail email Bu Sandra tersebut dan segera bergegas menuju kafe tak jauh dari stasiun, tempat yang sudah ditentukan Kiky untuk bertemu denganku. Kupikir aku masih bisa membaca email itu nanti. Sedangkan Kiky, hmm sahabatku yang satu itu paling tidak suka kengaretan yang mana kengaretan itu identik denganku.
"Sorry banget gue telat," ucapku dengan napas tersengal-sengal karena capek baru saja olahraga jalan cepat.
"Setengah jam, Florissa!" sindir Kiky.
"Iya, iya maaf." Aku duduk di kursi kosong di hadapan Kiky. Di meja sudah ada sebotol air mineral dingin yang sudah disiapkan untukku. Kiky sangat tahu persis aku pasti selalu datang terlambat sambil lari-larian. Karena itu dia selalu memesan lebih dulu air mineral untukku.
"Lo," kataku disela-sela menenggak habis air mineral dalam kemasan 330 ml itu. "Sahabat gue banget. Tahu banget apa yang gue butuhin," lanjutku.
Kiky berdehem. "Jadi, tumbenan sahabat gue yang lama hilang tiba-tiba ngajak ketemuan. Pasti ada masalah, ya kan?" tanyanya langsung.
"Gue baru aja napas, Ky. Buru-buru banget."
Kiky adalah orang yang paling tahu tentang aku. Meskipun aku jarang bertemu dengannya sejak bekerja di Bandung karena Kiky kembali ke Jakarta setelah lulus kuliah. Namun hingga saat ini aku tidak punya teman lain yang sedekat Kiky.
"Bokap nyuruh gue resign dan pindah dari Bandung," ceritaku singkat.
Kiky tidak menunjukkan reaksi apa pun. Hal ini memang tidak mengejutkan baginya. Karena ini bukanlah masalah baru yang kuhadapi.
"Udah waktunya kali Flo. Kasian juga kan bokap sendirian," tanggapnya.
"Ya, tapi, gimana ya? Gue sebenarnya belum siap."
"Flo, nyokap lo kan udah nggak ada. Emangnya lo mau nunggu sampai bokap lo nggak ada juga baru nyadar?"
Yeah, that's Kiky. Bitter.
Dadaku berdesir. Kiky selalu bisa membaca pikiranku tanpa aku perlu menjelaskan. Katanya, aku terlalu transparan. Apa yang ada di pikiran dan hatiku selalu tersirat pada raut wajahku. Aku tidak pintar menyembunyikan sesuatu. Aku tidak menyangkal pun tidak membenarkan Kiky.
Kiky juga tahu, Ibu selalu jadi alasanku untuk tidak pulang ke rumah. Bukan berarti aku tidak menyayangi ibuku. Aku hanya, tidak cocok. Apa yang ibu inginkan dan apa yang kumau selalu bertentangan. Sekarang ketika ibuku sudah tidak ada dan meninggalkan penyesalan mendalam untukku, aku masih saja keras kepala tidak mau tinggal di rumah dan menemani bapak.
"Kita bahas hal lain dulu, oke?" ujarku. Mataku mulai berkaca-kaca.
Kiky yang paham akan situasi akhirnya memanggil waitress untuk memesan makanan. Setelah memesan dua porsi spageti untuk kami berdua, sambil menunggu makanan kami tiba, aku menceritakan semua yang terjadi belakangan ini pada Kiky.
"Jadi akhirnya lo setuju untuk buka lagi Buttercream?"
Aku mengangguk.
"Hanya gara-gara lo diremehkan sama cowok itu?"
Aku mengangguk lagi.
Kiky langsung terbahak-bahak. "Astaga Flo! Ego lo tinggi banget sih. Lo nggak perlu menunjukkan apa pun untuk bikin impresif orang lain, tahu!"
"Iya, iya gue tahu. Tapi gimana dong udah terlanjur."
"Duh gue jadi keinget gimana lo ikutan lomba berenang pas SMA cuma gara-gara dikatain Ferdi. Ujung-ujungnya hampir tenggelem. Ingat nggak lo?"
Aku memutar bola mata. "Ini kan beda, Ky."
"Sama aja Flo sayang. Satu lagi, pas orangtua lo nggak yakin kalau lo bisa mandiri dan masuk ITB. Lo nekat—"
"Ya oke, oke! Tapi bukan itu sekarang poinnya Ky, oke? Sekarang bukan waktunya buat ngebahas sifat jelek gue ini. Gue minta ketemu sama lo bukan buat dicengin!"
"Iya iya oke. Galak amat. Jadi?"
"Bisa nggak lo bantuin gue di Buttercream?" Aku memohon pada Kiky dengan muka yang kubuat-buat penuh derita. Karena aku tahu Kiky pasti akan menolak.
"Nggak bisa."
Kan!
"Flo, gue kan nggak nganggur. Gue kerja."
Yeah, I know that! Kiky adalah seorang PNS di pemprov DKI Jakarta. Tentu saja dia sangat sibuk, tapi aku nggak tahu lagi siapa yang bisa kuandalkan selain Kiky.
"Please! Seenggaknya lo bisa bantu gue pas weekend, Ky!"
Kiky tampak berpikir. Aku tahu dia nggak akan tega denganku. Bukan berarti aku memanfaatkan sahabatku, tapi aku sudah nggak tahu lagi harus minta tolong sama siapa.
"Gue digaji kan?"
"Of course, Ky!"
"Oke, deal!"
Thanks, God! Kiky akhirnya menyetujui permintaanku. Aku lega sekali. Setidaknya sekarang aku sudah punya tiga orang dalam tim baru Buttercream. Aku, Kiky dan Mbak Rum. Iya, Mbak Rum pun mau membantuku.
Selanjutnya aku mengeluarkan bolpoin dan buku catatan untuk mencatat apa saja yang perlu kulakukan selanjutnya. Di saat-saat buntu dan susah berpikir seperti ini, Kiky adalah penyelamatku sejak dulu. Biasanya dia bisa membantuku mengurai hal-hal ruwet di kepalaku.
"Ngomong-ngomong kayak apa orangnya?" tanya Kiky tiba-tiba ketika aku sedang menjelaskan padanya tentang jadwal pernikahan Lola dan juga waktu yang kami punya untuk mengerjakan semuanya.
"Siapa?"
"Itu cowok yang kamu bilang sengak dan aneh."
Oh, well aku lupa. Aku sudah menceritakan hingga detail tentang Kael dan segalanya yang menyebalkan di diri lelaki itu pada Kiky. Dan aku menyesal. Seharusnya aku nggak perlu bercerita soal Kael pada Kiky.
"Oh, Kael. Biasa aja,"
Kiky menatapku penuh selidik. "Masa biasa aja? Ganteng nggak?"
Ganteng sih. "Nggak."
"Gantengan mana sama Dio? Aww!!"
Bolpoin yang kupakai untuk mencoret-coret sedari tadi kugetok ke kepala Kiky karena berani-beraninya dia menyebut nama eks-gebetan everlastingku selama SMA.
"Ya, meskipun awalnya memang gue berniat membangun kembali Buttercream karena cowok songong itu, tapi sekarang intinya ini semua nggak ada hubungannya sama dia lagi. Oke?"
"Ya, oke," kata Kiky tanpa menanggalkan senyum penuh ledekan di wajahnya. "Kalo gitu lo mau mulai dari mana, yuk dibahas."
Selanjutnya aku mulai membahas dengan Kiky apa yang harus dilakukan pertama kali setelah tim Buttercream ini terbentuk.
"Gue harus ngecek peralatan yang ada di dapur nyokap gue dulu. Apakah ada yang rusak, perlu dicuci atau mungkin ada yang harus dibeli."
"Oke, cek peralatan katering," catat Kiky. "Bikin logo baru Buttercream, perbaiki lagi instagram dan bikin poster, gimana?" usulnya.
"Oke, noted."
Saat itu tiba-tiba aku teringat email dari Bu Sandra tentang menu-menu pernikahan Lola yang belum kubaca. Aku membuka ponsel dan membaca dengan detail deretan nama makanan-makanan yang dipesan. Dan seketika mataku melotot melihat angka porsi yang tertulis di sana. Melotot sampai hampir keluar!
"Ky!" Aku memanggil Kiky dengan panik. Kiky mendongak. Aku menyerahkan ponselku dengan gemetar pada Kiky dan membiarkan dia membaca email Bu Sandra, karena aku nggak mau panik sendirian!
"What? Flo! 1000 porsi? Lo bilang kita cuma bertiga dan mereka pesen makanan sampe 1000 porsi! Ini becanda kan?"
Aku menggeleng lemas. "Itu bukan becanda. Mampus kita, Ky!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE HATE BUTTERCREAM
RomansaFlorissa Yasmin dianggap remeh ketika mencoba membangun kembali Buttercream, usaha katering keluarganya yang mati suri. Si tukang komentar yang meremehkan Flo adalah pria bernama Mikael Bramastha. Kael, seorang klien Belle Ame, Wedding Organizer mi...