BUTTER #11

114 20 0
                                    

Pagi ini aku dikejutkan dengan dua grup obrolan baru yang tiba-tiba muncul di Whatsappku. Yang satu bernama Belle ame Angels—serius, apa mereka tidak memikirkan nama grup yang lebih profesional gitu?— dan yang satu lagi grup bernama Proyek Lola-Karel Belle Ame.

Apaan nih?

Sambil menahan kantuk yang masih menggelayuti mataku, aku mencoba untuk membaca dan memahami pesan pertama dari grup Proyek Lola-Karel Belle Ame.

Sandra Reinoff : Pagi semuanya. Hari ini grup untuk proyek pernikahan Lola resmi saya bentuk. Semua perwakilan divisi dan vendor sudah saya invite ke sini biar lebih mudah berkoordinasi. Tolong catat. Besok kita meeting di kantor jam 10.

Miss Lola : Wow udah dibuat grupnya. Asik!

Mikael Bramastha : Saya mungkin dtg telat, Bu Sandra. Ada kerjaan.

Sandra Reinoff : Oke.

Mikael Bramastha, hmm siapa lagi itu. 

Belakangan aku terlalu banyak mendengar nama baru. Sepertinya aku harus membuat daftar nama-nama orang yang baru kukenal biar tidak lupa.

Wait... What? Mikael Bramastha... Mikael... Kael...

Aku berjingkat bangun dari kasur. Segera kupencet foto profil kontak bernama Mikael Bramastha itu. Dan ternyata benar, itu Kael. Aku satu grup sama orang sengak menyebalkan itu.

Ya Tuhan!

Aku melengos di tempat tidur. Resmi sudah aku bergabung dengan proyek ini. Itu saja sudah membuatku puyeng karena itu tandanya aku harus segera membuat keputusan terhadap pekerjaanku di Bandung. Ditambah lagi sekarang aku membayangkan hari-hariku bersama sosok Kael di proyek ini. 

Flo, jaga diri baik-baik, pesanku untuk diriku sendiri. Kamu nggak boleh gila, Flo.

Setelah bengong beberapa saat akhirnya aku memutuskan turun dari tempat tidur untuk bergegas mandi. Semalaman aku begadang bersama Mbak Rum untuk memeriksa peralatan katering milik ibu. Semuanya masih lengkap meskipun dalam keadaan yang sangat tidak layak. Aku baru tidur pukul dua pagi setelah selesai mencuci semuanya. Akibatnya hingga kini kepalaku masih berdenyut-denyut. Ditambah aku terus menerus memikirkan jumlah porsi untuk resepsi pernikahan Lola.

Seribu porsi. Gila! Siapa saja sih yang diundang Lola? Orang se-Jakarta Selatan? Aku masih tidak mengerti kenapa Bu Sandra tidak menggunakan vendor yang lebih berpengalaman untuk pernikahan sebesar itu. Alih-alih buat membantuku mendirikan lagi Buttercream, ini sih ngerjain namanya.

***

Hari ini aku tidak bisa ke mana-mana karena harus mempersiapkan set untuk presentasi besok di kantor belle ame. Aku akan membuat setidaknya tiga konsep berdasarkan daftar yang kemarin di email oleh Bu Sandra. Nantinya Lola akan memilih salah satu dari konsep yang kutawarkan.

Dalam kepalaku, konsep gubukan adalah yang paling tepat untuk pesta pernikahan Lola yang temanya tradisional dan banyak menampilkan upacara-upacara adat. Aku tinggal menentukan tiga konsep gubukan yang kususun sendiri menunya dan kukombinasikan dengan beberapa usulan yang diberikan Bu Sandra.

"Ayo makan siang sama Bapak, Nduk. Mbak Rum udah masak," ujar Bapak dari depan pintu kamarku yang kubiarkan terbuka.

"Sedikit lagi, Pak," jawabku tanpa menengok.

Aku bisa merasakan langkah kaki bapak mendekatiku. Kemudian beliau berdiri membungkuk tepat di samping kiriku. Kepala bapak melongok, matanya picing mengamati layar laptopku.

"Ngerjain apa to, sibuk bener. Ayo nanti dilanjut lagi. Makan sama Bapak sekarang," perintah bapak. Tanpa kusadari, tangan bapak tiba-tiba terulur dan layar laptopku menutup dengan keras.

"Paaaak! Hadoooh belum di-save!"

***

"Kamu rekrut saja juru masak baru."

"Apa?"

"Kamu akan kuwalahan kalau cuma berdua saja sama Mbak Rum. Rekrut saja juru masak baru. Ibumu dulu juga gitu," jelas bapak. Sambil menemani bapak makan, aku mencoba membahas kekhawatiranku menangani pesananan dari Lola yang jumlahnya seribu porsi itu.

"Kami bertiga, Pak. Sama Kiky."

"Kiky kan punya pekerjaan lain. Mbak Rum juga. Mbak Rum kan bapak bayar buat urus bapak dan rumah ini. Masa kamu sabotase buat ngurusin katering juga. Kamu harus bayar Mbak Rum dobel, loh! Ya, Mbak Rum, ya?"

Mbak Rum yang baru saja datang untuk mengantarkan cangkir teh punya bapak cuma cengar-cengir saja.

"Tapi, Pak. Gimana mau merekrut juru masak baru, kalau Buttercream aja belum menghasilkan apa-apa?" tanyaku.

"Kamu bisa minta bantuan dari Belle ame dulu. Ngomong sama Bu Sandra, pasti nanti dicarikan jalan keluar. Bu Sandra kan yang ajak kamu di proyek ini. Bisnis itu bukan cuma soal modal aja, Nduk. Tapi juga relasi. Yang dilakukan Bu Sandra dengan mengajak kamu untuk jadi rekanan bisnisnya di Belle ame juga masuk dalam relasi itu."

Aku mendengarkan petuah dari bapak dengan seksama. Sampai hari ini aku masih belum punya keberanian untuk berdiskusi aktif dengan Bu Sandra. Sosoknya terlalu mengintimidasi. Aku malah takut kalau meminta bantuan seperti itu beliau akan menganggapku tidak sanggup menjalankan proyek ini. Tiba-tiba saja aku teringat ibuku. Kalau saja ibu masih ada tentu aku tidak akan terlibat persoalan rumit yang seharusnya tidak perlu kulakukan ini.

"Bapak ngajarin kamu begini, biar kamu nggak terus-terusan di zona nyaman, Nduk."

Aku tersentil dengan omongan bapak itu. Ya, memang benar. Bandung adalah zona nyamanku. Tempat pelarian sejak dulu. Di sana aku bisa bebas melakukan apa yang kumau, bekerja sesuai passionku, tinggal di lingkungan yang baik dan tidak terlalu punya banyak lingkaran pertemanan yang membuat pusing. Masalah-masalah di kantor juga selalu terselesaikan dengan baik.

"Ehm," dehemku, agar bapak tidak membahas terlalu dalam lagi soal itu.

"Aku beresin ya, Pak piringnya," kataku lagi sembari menumpuk piring bapak yang sudah tandas bersama dengan piringku. Namun sebelum aku melangkah ke dapur untuk kabur, Mbak Rum sudah menghadangku dan mengambil tumpukan piring kotor dari tanganku. Mau tidak mau aku duduk lagi di kursiku.

"Sini dulu, emang mau ke mana buru-buru," ujar bapak seolah tahu kalau aku berniat kembali ke kamar.

"Kan Flo masih ada kerjaan, Pak. Buat presentasi ke Bu Sandra besok."

Bapak tiba-tiba meletakkan sebuah buku tebal bersampul putih di hadapanku. Di sampulnya tertulis, "BUTTERCREAM MAGIC FORMULA" besar-besar dalam tulisan tangan. Aku terlalu takjub hingga cuma bisa menganga melihat benda itu.

"Ini jurnal ibumu yang kemarin bapak cari-cari," kata Bapak sambil menepuk-nepuk permukaan buku tebal itu.

Dengan ragu-ragu aku membuka lembar pertama dari buku itu. Judulnya yang ajaib membuatku tersugesti bahwa apa yang ada di dalamnya pastilah kumpulan resep-resep ajaib yang ditulis ibuku. Lalu tanpa sadar aku membatin apakah ada ramuan untuk melenyapkan orang songong seperti Kael. Ah, tentu saja tidak ada.

Kertas yang kusentuh kaku dan lembab. Saat kubalik halaman demi halaman, bau lapuk menyeruak ke indera penciumanku. Pantas saja bapak kesulitan menemukan jurnal ini kemarin. Jurnal ini pasti sudah tersimpan terlalu lama di tumpukan antah-berantah. Kemudian aku membuka halaman dengan acak. Di lembar yang terbuka, kutemukan sesuatu yang tiba-tiba saja membuat dadaku bergelenyar.

Foto lawas keluarga kami yang ditempel dengan rapi. Ada bapak, ibu, aku dan Mas Faro. Aku dan Mas Faro mengenakan celana monyet kembar. Usiaku mungkin masih 3 tahun saat itu. Ibu masih sangat muda dan cantik tentu saja.

Aku mendongak untuk mencari-cari mata bapak. Yang kutemukan adalah sorot mata penuh keyakinan yang sedang menatapku dalam-dalam. Saat itu, dengan jurnal ibu dalam genggamanku, aku merasa punya kekuatan baru yang aku sendiri tak tahu datang dari mana.

Ibu, Flo rindu.

***

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang