chapter 9; Makan

37 6 0
                                    

Selang beberapa lama, Narendra pun telah tiba kembali di tempat tinggalnya itu, tangannya memutar kenop pintu di depannya lalu membukanya. Kaki jenjangnya itu ia bawa menuju dapur, hendak membawa alas untuk makanan yang ia beli tadi. Lantas setelah selesai, si pemilik helai rambut legam itu berjalan menuju tempat tidur Awan untuk membawakannya sarapan.

Netranya menangkap kedua orang di depannya itu yang sedang tertidur. Yah, tidak heran sih, Febfeb yang sedari malam tidak tidur dan Awan yang tentu saja masih perlu istirahat yang cukup. Ia pun menaruh nampan yang telah ia bawa di atas nakas, mungkin dirinya akan membangunkan mereka setengah jam lagi. Tak mungkin kan Narendra menunggu hingga siang hari tiba? Sedangkan mereka saja belum makan dari kemarin untuk mengisi tenaga mereka itu.

. . .

Setelah setengah jam sudah berlalu, Narendra yang tadinya sedang memotongi rumput-rumput liar di sekitar halaman rumahnya itu pun menyudahi kegiatannya, lantas kembali ke dalam rumah untuk membangunkan kedua orang yang tadi sedang tertidur.

Tak lupa ia membersihkan tangannya terlebih dahulu, karena tangannya telah kotor akibat kegiatan yang ia lakukan sebelumnya.

Kaki jenjangnya itu pun membawanya menuju kamar yang paling tua. Ia membuka pintu itu perlahan, tangannya menggoyang-goyangkan badan kedua orang di depannya itu, berharap dapat membangunkan keduanya, "Hei, bisakah kalian bangun sebentar? Aku sudah membawakan makanan untuk kalian,"

Terlihat pergerakan dari kedua orang tersebut, si pemilik netra orange itu mengerjapkan matanya sebentar guna memperjelas penglihatannya, sedangkan Awan menegakkan badannya secara perlahan dengan dibantu oleh Narendra. Si pemilik netra obsidian itu mengambil nampan dan memberikan salah satu piring kepada Febfeb, sedangkan yang lainnya ia pegang, ia berpikir untuk menyuapi abangnya itu.

Suapan pertama sudah Awan makan, lalu suapan-suapan lainnya pun berlanjut hingga makanan itu habis. Febfeb orang pertama yang menghabiskan makanannya, disusul oleh Awan. "Aku akan mencucinya," lalu ia mengambil piring-piring tersebut dan membawanya ke dapur.

Tersisa Narendra dan Awan sekarang, Awan tau bahwa Narendra memiliki banyak pertanyaan kepada dirinya, dan laki-laki di depannya ini pasti tau juga bahwa darah yang mengelilinginya kemarin itu jelas bukan karena keracunan makanan. Narendra tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui hal seperti itu, namun Awan pun juga tidak dapat memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, ini masih belum waktunya.

"Udah sedikit baikan, bang?" Narendra membuka percakapan yang dibalas dengan anggukan oleh lawan bicaranya. Narendra mengangguk paham, ia ingin berbicara lebih lanjut namun tak tahu harus mulai darimana. Awan yang melihat hal itu mengusak acak helai rambut pemuda di depannya itu, tersenyum tipis, "Maaf ya, udah bikin kalian khawatir." Sembari menatap sendu si pemilik netra obsidian itu. Narendra hanya dapat mengangguk pelan. Menggigit bibir bawahnya, nampak sedikit frustasi. Yah mau bagaimana lagi? Ia tahu bahwa jika ia bertanya sekarang, pria di depannya itu tidak akan menjawabnya dan akan mengalihkan topik yang ia tanyakan nanti. Narendra sudah hapal sekali dengan sifat Awan itu. Jadi ia lebih memilih untuk tidak bertanya apa-apa.

. . .

Sudah empat hari semenjak Awan siuman, dan sekarang ia sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasanya.

"Bang Awan yakin mau pergi kerja hari ini?" Narendra yang tadinya sedang membersihkan rumah menangkap Awan sudah bersiap untuk keluar menuju kota. Awan menoleh, lalu mengangguk sekilas, "Iya ren, aku sudah gak papa kok. Lagipula ada yang perlu aku urus di kota, tak enak jika aku terus menundanya." Narendra menghela nafas pasrah, Febfeb yang tadinya sibuk dengan resep yang telah ia beli untuk dirinya pelajari dari kota pun mengalihkan atensinya, "Pulangnya jangan terlalu malam ya, kak. Jika nanti kak Awan tidak pulang sebelum pukul delapan, kami akan menyusul." Awan yang mendengar hal tersebut pun mengangguk, "Baiklah, sampai jumpa nanti!" lalu ia pun pergi meninggalkan mereka.

. . .

Tempat Berpijak | YTMCI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang