chapter 5; Hangat

53 7 0
                                    

Langit sudah berwarna jingga, menandakan sore hari telah tiba. Si yang nampaknya paling muda itu belum terbangun dari tidur pulasnya dari beberapa jam yang lalu. Awan sedang berada di luar rumah karena harus mencari upah untuk melanjutkan hidupnya. Tak mungkin kan ia selalu mengandalkan hasil dari sekitar tempat tinggalnya saja? Sedangkan Narendra disisi lain menjaga rumah karena Awan yang menyuruhnya, jaga-jaga pasien yang sedang tertidur ini tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Katanya agar si pemilik netra orange itu tidak kaget jika di rumah tidak ada orang sama sekali, kan bisa repot kalau ia malah keluar dengan lukanya yang belum sembuh itu. Dan juga Awan sepertinya akan pulang lebih larut dari biasanya, katanya sih ada tugas tambahan.

Dan sebenarnya Narendra sekarang sangat bosan, jujur saja, menunggu itu bukan keahliannya. Dan setelah dipikir-pikir, kayu yang kemarin ia kumpulkan belum ia potong lebih kecil untuk dibakar di perapian. Jadi ia memutuskan untuk mengambil kertas dan menuliskan pesan untuk pemuda yang masih tertidur itu.

Jika kamu sudah bangun, ada makanan di dapur. Tinggal panaskan saja. Jika kamu mencari ku, aku berada di gudang tidak jauh dari rumah, berjalan saja ke arah timur maka kamu akan menemukannya.

— Narendra, orang yang pertama kali menemukanmu di hutan

Pemilik netra obsidian itu pun menaruh pesannya di atas nakas dekat tempat tidur si surai coklat. Lalu ia beranjak pergi menuju gudang.

. . .

Sekitar 30 menit berlalu, si pemuda akhirnya terbangun dari tidur pulasnya. Matanya sembab akibat menangis tadi pagi. Kemudian ia melihat ke sekitarnya tatkala mencari dua orang pemilik rumah ini. Namun naas, ia tak menemukan seorang pun. Langkah kakinya pun membawanya menuju kamar yang ia tinggali tadi, menemukan sebuah surat di atas nakas. Tangannya yang kecil meraih surat itu, lalu netranya pun membaca isi dari surat tersebut.

Pemuda itu memutuskan untuk ke dapur, guna mengisi perutnya yang sudah berteriak untuk diisi karena sedari pagi dia belum makan sama sekali.

Setelah makan dengan khidmat, si pemilik netra orange itu memutuskan untuk menyusul ke gudang yang tak jauh dari sana.

. . .

Narendra nampak masih berusaha untuk memotong beberapa kayu untuk perapian nanti malam, mungkin juga sekalian sebagai pemasok di beberapa hari kedepan agar tidak perlu memotongnya lagi nanti. Tangannya yang lihai itu hampir menyelesaikan semuanya. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara derit pintu gudang yang tadi telah ia tutup. Ia menoleh, menangkap sosok pemuda yang telah terbangun dari tidur lelapnya.

"Oh, kau sudah bangun rupanya. Tunggu sebentar ya, aku harus menyelesaikan ini. Nanggung jika aku kembali sekarang" Narendra yang pertama kali membuka suara. Anak itu mengangguk paham, mendekati Narendra.

"Mau kubantu?" tanyanya basa-basi.

"Tak perlu, kau masih terluka. Yang ada nanti aku akan dimarahi oleh bang Awan jika meminta bantuan darimu." ujarnya tanpa menoleh, ia mengambil beberapa kayu yang sudah dipotong tadi lalu diikatnya, ia akan membawa kayu itu ke rumah untuk perapian nanti malam.

"Ayo balik, sebentar lagi malam tiba. Kemungkinan bang Awan akan pulang sedikit lebih malam. Kamu tidak apa-apa kan berdua denganku saja?" Narendra pun berjalan menyelaraskan langkah kakinya dengan pemuda itu sembari membopong kayu yang sudah ia ikat.

Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Lalu berjalan kembali menuju rumah yang tak jauh dari sana.

. . .

Jam sudah menunjukkan pukul 9, Awan Baru saja menginjakkan kakinya di tempat tinggalnya. Rambutnya berantakan, mukanya kusut dan bajunya yang sedikit acak-acakan terlihat. Ia melihat ke sekitarnya, netra emerald itu menangkap cahaya lampu yang masih nyala. Cahaya itu berasal dari dapur, jadi ia memutuskan untuk berjalan kesana.

"Loh, belum tidur?" Sedikit kaget karena Awan melihat kedua sosok remaja tanggung itu belum menutup matanya.

"Selamat datang, bang. Iya, belum tidur. Bocah ini meminta untuk ditemani memasak. Katanya ia ingin membuat makan malam untuk abang. Cuma sepertinya masakan ini gagal.... Yah, Abang tau sendiri kan kalau aku tidak begitu pandai memasak. Dan juga ternyata bocah ini masih coba-coba... Jadi ya... begitu..." Narendra tersenyum kikuk, sambil menatap —sesuatu yg nampak tak bisa dikonsumsi— maksudku makanan yang sepertinya kurang layak itu. Sedangkan si surai coklat hanya bisa menutup penuh mukanya, malu.

Awan yang melihat itu hanya tertawa renyah, mengacak-acak gemas rambut kedua pemuda di depannya itu.

"Tidak apa-apa, namanya juga belajar. Ini kumakan ya." Ucap Awan sambil mengambil sendok dan mencoba memakannya.

Kedua pemuda itu membelalakkan matanya, "BANGG JANGAN!!/JANGAN!!" ucap keduanya berserentak. Namun sudah terlambat, yang lebih tua itu telah memakannya. Yah, sepertinya besok pagi akan ada yang mengalami diare.

. . .

Tempat Berpijak | YTMCI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang