Lahir sebagai pangeran bungsu dari tujuh bersaudara, Solar tidak pernah memiliki tuntutan ataupun keberatan pada siapapun. Semua baik saja menurutnya. Apa yang ia mau juga dengan mudah dituruti oleh sang ayah yang bertitel kaisar.
Hidupnya lurus, tenang, bagai tidak ada ganjalan atau kelokan dalam jalan yang ia tempuh. Semua sayang padanya, semua suka padanya. Bahkan ketika eksistensi sang ibunda menghilang, Solar tidak merasakan berat dalam dadanya. Dia lega. Justru sangat lega.
Toh, buat apa bersedih?
Ayahnya adalah seorang kaisar dengan kekuasaan yang tidak bisa dikira oleh kepala kecilnya, ia juga masih punya lima ibu sambung yang sangat menyayanginya—permaisuri serta empat selir ayahnya, semua pegawai istana dan ksatria juga mencintai dan menghormatinya. Apa yang kurang?
Ia juga masih punya enam kakak, walaupun dalam hal ini Solar tidak bisa menentukan, apakah hubungannya dengan para kakak memang betul baik-baik saja, ataukah itu hanya dalam sudut pandangnya saja. Waktu yang ia habiskan bersama para kakak tidak banyak, Solar tidak pernah benar-benar bisa memahami kakak-kakaknya. Gempa serta Duri yang sering bersama dengannya saja, ia tidak bisa menebak, apalagi empat kakaknya yang lain.
Namun Solar tidak peduli. Yang paling penting saat ini ia bisa tumbuh besar, dewasa, lalu menjadi seorang ahli pengobatan sebagai pengabulan atas cita-citanya sejak kecil. Solar sadar diri dia tidak punya penyokong kuat di balik punggungnya, tidak seperti enam kakaknya yang didukung sepenuh hati oleh ibu mereka serta keluarga besarnya. Solar hanya seorang diri kepayahan berusaha berdiri tegak dan tegar di atas kakinya sendiri.
Ia saat ini cuma bisa bersikap manis dan menyenangkan semua orang sambil berharap cemas semoga semua dapat mengerti usahanya untuk menarik keberpihakan di sekitarnya sejak dini.
"Yang Mulia Permaisuri," mata sewarna perak milik Solar berbinar senang melihat bunga-bunga dalam taman istana utama yang mulai bermekaran, "apa Solar boleh memetik beberapa bunga di taman istana utama? Sepertinya cantik kalau untuk menggantikan bunga-bunga layu di kamar Permaisuri,"
Wanita dengan helai rambut merah itu tidak langsung menjawab. Jarinya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja kerjanya, sengaja agar Solar semakin tidak sabar mendengar jawaban yang akan ia lontarkan.
"Solar langsung tahu ya kalau bunga-bunganya layu, padahal baru saja kemarin digantikan oleh Halilintar."
Solar kecil terdiam. Kaki-kaki mungilnya seketika berhenti melompat. Ia tidak bisa tetap girang setelah mendengar nama itu.
Halilintar. Ia adalah anak pertama kaisar, yang tentu saja, putra dari sang permaisuri. Usianya tidak terpaut jauh dengan Solar, namun tidak serta merta dapat menurunkan ketegangan di antara ia dan Solar. Si bungsu tidak pernah berbuat salah, ia bahkan cenderung bersikap hati-hati pada Halilintar, tapi tetap saja terasa canggung dan berat secara alami. Sang kakak memiliki pembawaan yang berkharisma dan mengintimidasi di usianya yang masih cukup belia, sehingga sulit untuk Solar mendekat dengannya seperti layaknya anak-anak dan saudara.
"—lo, Solar? Apa kau mendengarkan?"
Si bungsu terkesiap. Permaisuri sudah tidak lagi berada di meja kerjanya, ia kini berjongkok menyamakan tingginya dengan Solar.
"MAAF, YANG MULIA!" Solar membungkuk berkali-kali dengan panik. Permaisuri berjongkok di hadapan ia yang bukan siapa-siapa, kalau ada yang tahu, bisa mampus Solar detik ini juga. "Saya tidak bermaksud—"
Permaisuri tertawa ringan. Ia menegakkan tubuhnya dan mengelus lembut penuh kasih sayang rambut Solar.
"Solar boleh kok ambil bunganya," ujar permaisuri. Tapi Solar tahu, kalimat permaisuri menggantung dan terdapat rasa curiga tipis di sana, "aku sendiri juga tidak mengerti, kenapa bunganya bisa layu secepat itu. Padahal, Halilintar cukup jago mencari bunga-bunga segar yang tidak mudah layu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
ФанфикTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?