Masih sama seperti dalam ingatan Solar seluruh detail dalam ruangan sang ayah. Vas bunga, tatanan buku di rak, patung separuh badan di dekat pintu, sampai jendela besar yang jadi akses utama seluruh cahaya di ruangan ini.
Mungkin sebuah sihir pengatur suhu ruangan diaplikasikan. Agak aneh bagi Solar, jendela sebesar itu namun ruangan selalu terasa sejuk meskipun cuaca di luar sedang panas-panasnya.
Sang ayah memasang senyum lebar—sama sekali tidak mengurangi wibawa yang melingkupinya. Bahkan setelah mama dan ibu Duri memberi salam penuh hormat, ia masih senantiasa tersenyum hangat.
"Coba sini bawa Duri dan Solar,"
Berikutnya, Solar dan Duri sudah berpindah di masing-masing tangan kaisar, saling mengedip bingung. Merasa asing pada bau sang ayah, karena selama ini hanya bersama ibu mereka.
"Aduuuhh, anak bungsu Ayah ini menggemaskan semuaaa!" Sang ayah menduselkan brutal pipinya pada dua bayi dalam rengkuhannya. Tangannya melingkar kokoh pada si dua bungsu.
"Pelan-pelan, Amato, Solar masih belum bisa mengontrol kekuatan tangan—"
"AAAAK," kaisar memekik kaget merasakan jambakan di kepalanya. Tidak sakit, tentu saja. Tapi, melihat Solar menatapnya serius, Amato jadi curiga, anak ini menjambaknya dengan sengaja sepertinya. "Arunika, Solar brutal sekali."
Daariya tertawa kecil melihat Amato yang masih dijambak Solar dan Arunika yang panik berusaha membujuk Solar untuk berhenti menjambak sang ayah.
"Duri tenang sekali, ya?" Amato berkomentar, sedikit heran karena Duri tidak banyak menampilkan ekspresi seperti Solar.
Huh, tidak tahu saja si ayah ini. Duri sejak dulu cuma jaga imej saja biar dilihat sebagai anak manis.
Lihat, nih!
Solar mencondongkan tubuhnya pada Duri. Tangan-tangan kecilnya terjulur pada Duri lalu mulai meremat pipi gembul Duri.
Sang kakak memekik tidak terima. Tangannya ikutan terjulur dan ganti meremat kesal pipi Solar yang kemerahan karena terpapar sinar matahari tadi.
Kan, Duri mana mungkin tenang? Anak ini aslinya berisik, tahu!
'Sakit, Solar bodoh!'
Si bungsu terkesiap. Tangannya berhenti meremat pipi Duri, tapi tidak juga melepasnya. Kepalanya celingukan bingung namun hanya mendapati wajah kaisar, mama, dan ibu Duri sama bingungnya dengan dia. Kemungkinan besar mereka tidak dengar dan hanya bingung karena Solar mendadak berhenti meremat pipi Duri.
Suara siapa barusan?
"Ayo, anak-anak tidak boleh bertengkar. Akur ya kalian. Kita akan membahas pesta ulang tahun kalian berdua." Amato menggeser dua putra bungsunya untuk saling menjauh, namun tetap memastikan keduanya masih dakam rengkuhannya.
Dan selanjutnya Solar dan Duri terkantuk-kantuk menunggu ibu mereka dan sang ayah membahas rencana ulang tahun pertama mereka berdua.
Katanya, karena ini ulang tahun pertama sekaligus pengenalan pertama kami pada publik, harus meriah dan mewah. Kalau perlu boleh juga diadakan beberapa hari, yang langsung ditolak cepat Arunika dan Daariya. Tidak efektif untuk anak-anak yang masih mudah bosan. Bukannya masyarakat jadi menghormati mereka, bisa jadi mereka dilihat sebagai anak-anak manja—meskipun aslinya bisa dimaklumi reaksi rewel mereka karena masih bayi.
Akhirnya disepakati bahwa pesta hanya berlangsung selama satu hari.
"Bukannya itu sedikit berlebihan untuk anak bayi, Yang Mulia?" Tanya Arunika ragu. Menurutnya, pesta cukup diadakan satu waktu saja, misalnya satu malam. Kepalanya cukup berdenyut karena tiba-tiba terpikirkan banyak biaya yang akan digelontorkan kekaisaran untuk putranya yang cuma satu ini.
Daariya mengelus bahu wanita di sampingnya, berusaha menenangkannya, "itu normal, Arunika. Malah biasanya putra putri kerajaan pestanya diadakan beberapa hari, seperti yang disebutkan Yang Mulia tadi, apalagi ini ulang tahun pertama. Kau ingat kan ulang tahun pangeran Halilintar beberapa bulan lalu?"
Arunika mengangguk pelan. Mana mungkin ia lupa dengan pesta ulang tahun Halilintar yang selalu mewah dan megah. Keluarga permaisuri benar-benar totalitas mengeluarkan dana untuk keturunan mereka satu-satunya.
"Jangan khawatir mengenai dana, Arunika," Amato berusaha menenangkan selirnya yang paling muda itu. Bagaimanapun, Amato ingin semua putranya mendapat perlakuan yang sama. Kalau salah satu dari mereka bisa ulang tahun dengan mewah, maka yang lain juga harus bisa. "Putramu adalah pangeran bungsu kekaisaran Sentemale, kalau memang harus mengeluarkan banyak dana, aku pasti akan mengusahakannya. Demi anak-anakku. Aku pastikan aku tidak perlu meminta pada keluargamu."
Kalau kaisar sudah turun tangan begini, Arunika mau tidak mau harus patuh.
"Berbahagialah, Arunika. Kamu bukan lagi rakyat biasa seperti sebelumnya. Kamu yang sekarang adalah salah satu selir Yang Mulia Kaisar Amato dan memiliki putra seorang pangeran bungsu. Wajar saja loh kamu menikmati kekayaan ini," kali ini Daariya tersenyum lebar, menularkan keceriaan pada selir termuda yang biasa menebar senyum.
"Baiklah, sudah diputuskan. Kita akan merayakan megah ulang tahun si bungsu!" Seru Amato senang.
Huhu, akhirnya pesta lagi. Sudah lama Amato tidak berpesta. Pesta ulang tahun Halilintar kemarin ia terpaksa tidak hadir karena harus mengurus masalah kekaisaran. Meskipun si pangeran sulung bilang tidak masalah, tetap masalah untuk Amato, karena dia tidak jadi berpesta.
Eh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
FanfictionTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?