Sudah lebih dari enam bulan namun kurang dari satu tahun, Solar jadi kelihatan seperti bayi kebanyakan pikiran karena sering terpergok melamun dan tidak banyak berceloteh seperti bayi pada umumnya.
Solar yakin, ia dikembalikan sejauh ini oleh Obi tidak untuk asyik-asyik saja dimanja mama, tidur nyaris seharian, menangis sesuka jidatnya, atau mencubit gemas pelayan karena ia masih belum bisa mengontrol kekuatan motoriknya.
Minimal sekali, Solar harus menentukan tujuannya dikembalikan ke masa lalu. Maksimalnya, Solar harus menyelamatkan dunia, sih. Tapi rasanya, bakal terlalu muluk-muluk kalau dia bertekad mengubah seluruh alur hidupnya, yang seperti itu rasanya agak mustahil.
Kalau Solar berharap semua baik-baik saja, lalu hubungannya dengan para kakak selalu baik sampai ia dewasa, yang ini muluk-muluk tidak, ya? Soalnya, kalau ini tidak termasuk tujuan yang muluk-muluk, Solar bakal berusaha sekeras mungkin agar terwujud.
Diakui atau tidak, insiden buruk yang terjadi sebelumnya, merupakan salah satu hasil dari Solar yang tidak punya siapa-siapa di balik punggung kecilnya itu.
Sedih kalau diingat. Nelangsa sekali hidupnya dulu, padahal selama itu dia selalu percaya kalau ia hidup sebagai orang yang beruntung.
Coba deh, lahir jadi bungsu dari tujuh bersaudara, pangeran pula, ayahnya seorang kaisar pula, memang kurang apa lagi? Solar bahkan sampai tidak memikirkan masalah kekayaan, harta bendanya tuh melimpah ruah di kamar. Tapi ternyata, dia yang seorang diri secara tidak langsung, cukup berpengaruh besar di hidupnya, ya.
Solar menghela napas kecil—sekali lagi terlihat seperti bayi kebanyakan pikiran.
Ya sudahlah. Untuk saat ini hal paling penting adalah dia bisa tumbuh besar, bisa berjalan, bisa berbicara lancar, dan tidak terkurung lagi di kamar besar ini. Solar sudah mulai muak dan jenuh dengan kegiatan yang itu-itu saja setiap harinya.
"Solar suka warna apa, ya?" Mama menyodorkan dua baju seukuran Solar dengan warna yang berbeda. Satu kuning menyala, satu lagi kelabu kalem. "Suka kuning tidak, Sayang?"
Oh, Solar suka sekali kuning. Tapi kalau menyala begitu, Solar sendiri sampai menyipitkan mata saking silaunya.
"Mama suka warna kuning, tapi bakal kelihatan buruk sekali untuk Mama," Mama duduk di samping Solar yang masih mengerjapkan matanya polos. Kepalanya dielus lembut. "Rambut Mama perak, mata Mama perak, kalau Mama nekat pakai warna kuning-kuning silau begini, nanti Mama jadi kayak malaikat."
Solar terkekeh—tidak peduli diartikan apa oleh sang mama. Mamanya ini lucu sekali. Padahal pasti tidak ada yang keberatan kalau mama tampil bagai malaikat begitu. Toh, sebagai selir termuda, mama disayangi dan dimanjakan oleh yang lain. Jadi, apapun yang mama mau lakukan, semuanya pasti oke saja.
"Tapi kalau Solar yang pakai, pasti indah sekali," tubuh Solar diangkat ringan oleh mama. Manik perak mama yang beradu pandang dengan Solar tampak terlihat cantik dan penuh cinta. "Habisnya, matahari punya Mama kan memang seperti malaikat!"
Sekarang Solar tidak akan heran kenapa ia begitu suka sekali mendapatkan perhatian orang-orang atau berusaha melakukan apa saja agar diperhatikan. Mamanya begitu banyak mencurahkan perhatian dan kasih sayang untuknya, pantas saja Solar tumbuh besar menyukai atensi yang ditujukan untuknya semata.
Untuk kali ini biarlah Solar yang rendah hati ini memilih warna kelabu untuk bajunya. Esok kalau dia sudah pandai berbicara atau setidaknya menggerakkan tubuhnya sendiri, akan Solar pastikan warna kuning berjejer cantik di lemari bajunya.
BUKAN YANG KUNING MENYALA, TENTU SAJA!
Bisa terbakar mata Solar ini kalau mamanya masih saja menyodorkan warna-warna kuning menyala begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
Fiksi PenggemarTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?