5. Dari Nol

372 66 4
                                    

Ketika Solar memahami ucapan Obi, Solar mengira hanya akan dikembalikan satu sampai dua tahun sebelum insiden-insiden buruk itu terjadi.

Tapi salah besar, rupanya.

Solar ada di sini, di sebuah ruangan yang sangat ia kenali—meskipun matanya belum sanggup melihat objek yang jauh. Ini kamarnya. Ruangannya. Tempat ia selama ini tinggal dan hidup bernaung. Suatu ruangan besar yang terletak di ujung istana selir. Dengan jendela besar kokoh yang menghadap ke arah taman, Solar langsung bisa mengenali aroma matahari pagi yang selama ia hidup sebelas tahun lalu, menyapa penciumannya.

Ia kembali.

Kembali jadi bayi pula.

Solar mengerang kesal. Tangan dan kakinya bergerak-gerak sembarangan. Dia belum punya cukup tenaga untuk menendang-nendang kesal.

Apa sih yang bisa dilakukan bayi umur sekian hari ini?

"Selamat pagi, Matahariku,"

Sebuah rengkuhan hangat dan nyaman menarik Solar dalam pelukan. Satu ciuman kecil di dahi diterima oleh Solar yang terdiam sambil mengerjap bingung.

Wanita dengan paras ayu yang berbaring di sampingnya tersenyum lembut. Rambutnya yang keperakan menjuntai indah membingkai sisi-sisi wajahnya. Manik perak sewarna dengan Solar tengah menatapnya penuh kasih.

Ini ibunya.

Sosok ibunya yang selalu dirindukan. Sosok ibu yang ditekan kuat-kuat oleh Solar agar memori buruknya tentang sang ibu tenggelam jauh. Sosok ibu yang mati-matian bagaimanapun caranya selalu diingat oleh Solar.

Ini ibunya.

"Loh, menangis lagi," Solar makin direngkuh lalu mulai diciumi gemas. Sepertinya sang ibu tahu anaknya cuma menangis biasa tanpa arti. Bukan lapar, haus, ataupun mau berak. "Masih pagi jangan rewel ya, Solar. Nanti Mama gigit pipimu."

Mama, ya.

Solar terkekeh geli, seketika menghentikan tangisnya tadi.

Kalau diingat-ingat, Solar memang menolak memanggil sang ibu dengan 'mama'. Malu, kata Solar. Soalnya, kakak-kakaknya yang lain memanggil ibu mereka dengan 'ibu'. Masa Solar seorang diri yang panggil dengan 'mama'?

"Ayo tidur lagi," pantat kecil Solar ditepuk-tepuk, "anak bayi harus banyak tidur biar bisa tumbuh cepat! Nanti kalau Solar sudah besar, boleh deh tidak tidur. Mama tidak akan larang."

Baiklah kalau begitu.

Mulai saat ini Solar akan menikmati saja kehidupan bayinya yang pasti akan membosankan ini. Hari-hari kerjaannya cuma minum ASI, tidur, buang air, lalu menangis heboh. Tidak mungkin juga kemana-mana. Kaki-kaki kecilnya bahkan belum bisa ia gerakkan sesuai kemauannya. Mamanya juga lebih senang menghabiskan waktu di kamar dengan membaca bukunya yang tebal-tebal dan banyak itu.

Solar tidak bisa apa-apa. Betulan tidak bisa apa-apa.

Hari juga rasanya berjalan lambat sekali. Untuk menggenapi satu minggu saja, bagi Solar sudah seabad. Apalagi menunggu bulan berganti.

Tapi menakjubkan sekali perkembangan bayi, menurut Solar. Ia yang awalnya cuma bisa melihat obyek-obyek yang dekat dengannya, sekarang ia bisa melihat lebih jauh dan lebih luas. Ia sekarang bisa melihat detail-detail yang ada di kamarnya. Lampu gantung dari kristal, lilin dengan aroma harum buatan mamanya, selimut-selimut tebal yang ditumpuk rapi di ujung ranjang, para pelayan yang mondar-mandir, empat anak kecil yang mengintip malu—

—TUNGGU DULU!

Mata Solar yang masih belum berfungsi dengan benar itu menyipit, meskipun dia tahu itu tidak banyak membantu. Tetap saja dari jarak sejauh ini Solar tidak dapat mengenali bocah-bocah yang sedang mengintipnya itu.

Not the Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang