4. Ruang Hampa

354 63 2
                                    

Solar terbangun karena kehangatan nyaman yang melingkupinya. Asing buat dia, karena beberapa minggu terakhir hidupnya ia hanya merasakan dingin dan lembab dalam gelap. Jadi, diliputi kehangatan yang menenangkan begini, Solar malah sangat curiga.

Ia bangun dari tidurnya. Tidak langsung membuka mata, Solar paling tahu itu adalah hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Sembrono.

Detik pertama setelah mendapatkan kembali penglihatannya yang direnggut sang kakek, Solar buru-buru membuka mata, yang menghasilkan ia berteriak kesakitan. Matanya yang sudah terbiasa dalam gelap, tiba-tiba menangkap cahaya. Remang pun tetap membuat Solar berjengit karena tidak terbiasa.

Solar berada dalam ruang hampa. Tidak ada batas, tidak ada di dinding, tidak ada akhir. Sejauh mata peraknya memandang hanya ada putih dari ujung ke ujung.

Ia sendirian di antah berantah.

Tapi, mungkin ini hukuman yang pantas untuknya. Pendosa yang membunuh keluarganya sendiri. Keluarga yang selama ini ia yakini mencintainya setulus hati.

Kalau begitu, harusnya Solar tidak salah kan, ya? Toh, keluarganya sendiri ternyata yang mengkhianati rasa percayanya.

Solar tertawa miris.

Pasti tidak ada pembelaan atas perbuatannya. Apalagi di detik-detik terakhir, ia malah memasrahkan dirinya pada sang kakek. Padahal Solar tahu sendiri, ibu beserta ibu-ibu sambungnya telah berusaha sekuat tenaga menjaganya agar tidak dapat diraih sang kakek.

Berarti Solar pengkhianat juga, ya?

"Halo, Solar!"

Kepala Solar mendongak cepat. Di hadapannya seorang remaja yang mungkin seusia sang kakak sulung tengah menekuk tubuh, menyamakan tinggi badannya dengan Solar.

Wajahnya ramah sekali. Senyum yang ia pasang jadi terlihat sangat hangat.

Solar tidak kenal dia siapa, tapi entah kenapa wajahnya terasa sangat familiar dalam ingatan Solar.

Mirip siapa, ya?

"Aku tidak menyangka, kita bakal secepat ini bertemu," ujarnya tetap ramah. Kini ia ikut duduk di samping Solar, mungkin lebih nyaman untuknya daripada harus berjongkok seperti sebelumnya, "aku kira, aku tidak perlu bertemu denganmu begini. Aku sedih, pertemuan pertama dan terakhir kita harus seperti ini."

"Kakak ini siapa, ya?" Solar buru-buru menutup mulutnya. Lancang sekali dia memotong ucapan yang lebih tua hanya untuk bertanya seperti itu pada orang yang tidak ia kenal.

"Loh, Solar tidak kenal aku, ya? Waah, apa ayah tidak memperkenalkan kalian tentang aku?"

Si bungsu menggeleng.

"Kalau Solar ingat sebuah gambar besar di kamar ayah, yang isinya ada ayah, satu wanita, dan satu anak laki-laki, itu aku,"

Solar diam berusaha mengingat. Ia cukup jarang memasuki kamar sang ayah, tapi sepertinya dia bisa mengingat detail dalam kamar kaisar. Memang benar, ada gambar dalam pigura besar dengan wajah-wajah yang cukup asing karena Solar memang tidak pernah bertemu.

"Aku putra pertama kaisar, yang pertama bahkan sebelum Halilintar," senyum ramah masih setia terpasang, dan Solar mulai bisa mengingat titik-titik familiar pada sosok di depannya, "namaku Obi, Solar."

Ah.

Satu memori terbuka lagi. Ingatan yang sangat jauh dan samar. Sebuah percakapan ringan dengan sang ibu, sebelum akhirnya beberapa minggu ke depan, kewarasan sang ibu direnggut entah apa penyebabnya.

Ayahnya sebelum menikah dengan ibu dari Halilintar memang pernah menikah dengan seorang putri dari kerajaan dalam naungan kekaisaran. Permaisuri terdahulu merupakan wanita yang cantik dan cerdas. Mereka memiliki satu anak laki-laki yang menghidupkan kehidupan istana kaisar. Dicintai oleh semua orang.

Not the Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang