Seminggu sudah berlalu harusnya, dari kali pertama pertemuan Solar dengan sang ayah serta Duri dan ibunya. Ada rasa senang setitik dalam hati Solar begitu melihat lagi sosok Duri, meskipun di kehidupan kali ini Duri masih bayi mungil.
Sisanya, Solar merasa lega. Sejak hari Obi menyiratkan ia akan menjalani lagi kehidupannya, jujur saja, Solar dilanda gundah dan perasaan bersalah yang menumpuk. Perbuatannya terhadap keluarganya—terutama pada enam kakaknya sama sekali tidak bisa dibenarkan, meskipun Solar sebenarnya dapat berlindung di balik alasan ia yang hanya seorang diri tanpa penyokong dan cuma sedang berusaha membela diri.
Tapi tetap, membunuh saudara dan keluarga sendiri tidak pernah dibenarkan.
Solar sudah bertekad, ia akan meminta maaf pada kakak-kakaknya terutama, kalau ia kembali hidup. Apakah dimaafkan atau tidak, itu sudah bukan kendali Solar. Namun Solar juga ragu, apakah mereka masih mungkin ingat perbuatannya di kehidupan lalu? Semestinya tidak, kan? Ini sudah di lajur waktu yang berbeda, tidak mungkin mereka mengingat perbuatan kejinya.
Di hari pertama Solar membuka mata dan mendapati diri menjadi bayi tidak berdaya, Solar tak hentinya bersyukur dalam hati, meskipun pojok hatinya merasa tidak enak. Mereka semua kembali menjadi kanak-kanak, sudah dapat dipastikan bahwa semua kakaknya dan orang di sekitarnya tidak ada yang ingat.
Apa boleh Solar merasa lega untuk hal ini?
"Ih, Solar itu suka sekali melamun, ya?" Solar mengerjap, menatap pada mata bulat Taufan yang kini memperhatikannya lekat-lekat. "Beda sekali sama Duri yang suka berceloteh tidak jelas. Bahkan sama Hali pun dia masih berani berisik. Ckckck, hebat sekali."
Tentu saja. Solar mendengus pelan. Duri mana punya rasa takut. Anak itu dulu bahkan berani menendang Halilintar cuma karena dia mengira si sulung mau mengusili Solar.
Ngeri.
"Mirip Ais sekali," satu kepala muncul dari balik bahu Taufan. Anak laki-laki yang lebih muda dari Taufan dan punya mata yang seperti bara api menyala. Cocok dengan ucapannya yang selalu menggebu. "Kalau aku yang disuruh jaga Solar, pasti bakal langsung mengantuk."
Taufan tertawa. Ia menggeser duduknya agar dua adiknya yang baru menyusul bisa ikut berteduh dengannya di bawah pohon rindang halaman istana selir. "Tumben kalian keluar ruangan, sudah selesai belajarnya? Bunda kalian menakutkan loh kalau marah, bakal lebih baik kalau kalian betulan sudah selesai melakukan perintahnya."
Dua anak laki-laki di samping Taufan mengangguk antusias tanpa mengalihkan pandangan takjub mereka pada si bungsu.
Maaf nih, tapi Solar agak risih ditatap begitu. Tahu sih, si bungsu ini ganteng, tapi jangan gitu banget lihatnya. Takut. Kayak mau makan bayi.
"Matanya Solar cantik banget," yang dari tadi diam mulai membuka mulut. Suaranya halus dan terdengar mengantuk meskipun antusiasme tampak sekali di wajahnya. "Perak. Mirip sama punya kak Gempa yang warnanya emas. Warna-warni logam mulia."
"Mata Aze dan Ais juga cantik," Taufan kini mengalihkan pandangannya pada si kembar yang mengerjap bingung. "Mata Aze kayak perapian yang biasa dinyalakan para pelayan tiap senja turun, dan mata Ais seperti air di danau istana utama. Cantik dan berkilau sekali mata kalian."
Aze dan Ais saling bertatapan, bagai berkaca pada netra satu sama lain. Mulut mereka membuka dan menutup dengan takjub. Sepertinya mereka berdua sepakat setuju dengan pujian Taufan tadi.
"Kita ke paviliun saja, bagiamana menurut kalian?" Si sulung datang disusul Gempa yang mengekorinya dengan tenang. Sulur-sulur hijau tumbuhan muncul di berbagai titik tubuh Halilintar, membuat penampilan pangeran pertama tersebut jadi berantakan.
Halilintar jadi tampak bodoh dengan sulur-sulur hijau mencuat di kepalanya itu, batin Solar.
Sudah jelas itu perbuatan Duri, Solar tidak akan ragu. Mengingat penampilan ibu Duri yang berantakan dihiasi daun dan bunga beberapa hari lalu di pertemuan pertama mereka, maka yang ini pun pasti perbuatan sihir Duri.
Duri masih berceloteh ribut. Tidak ada kata berarti yang dikeluarkan lisannya, hanya bunyi-bunyian acak. Solar sendiri sampai rasanya ingin menyumpal telinga saja, tapi sayang tangan bayinya ini terlalu lemah bahkan untuk sekedar menutup telinganya dengan benar.
Tangan Duri terjulur, melewati gendongan Halilintar dan berusaha menggapai Solar. Kakak-kakak mereka sibuk mendiskusikan tempat teduh yang nyaman untuk dijadikan alas bergoleran santai. Tidak ada yang memperhatikan usaha Duri menggapai Solar dalam gendongan Taufan.
Jari-jari Solar berhasil disentuh. Sesekali dipencet gemas tanpa kontrol. Tidak sakit, tentu saja. Kekuatan Duri bayi tidak se-badak Solar yang suka tantrum karena tidak bisa meraih benda-benda di langit ruangan.
Tapi, mendadak tangan Solar menjadi sakit dan perih. Harusnya tenaga Duri tidak bisa sampai menyakitinya. Duri adalah bayi, sedangkan Solar membawa ketahanan dirinya di masa lalu. Pencetan jari Duri tidak akan menyakitinya.
Solar melotot panik kala ia mendapati tangannya tidak lagi dipencet Duri, melainkan sulur hijau tajam milik kakaknya itu tengah melilit kuat di lengan kecilnya. Solar tidak lagi memperhatikan seperti apa luka yang ditimbulkan sulur tersebut, ia cuma ingin berteriak menangis agar lima kakaknya tahu kalau sihir Duri sekali lagi di luar kendali.
Tidak bisa. Bibir Solar terkatup rapat. Netra peraknya bergetar begitu bersirobok dengan zamrud milik Duri.
Kakaknya yang masih sama bayinya dengan dia, tampak menyunggingkan senyum lembut yang di mata Solar jadi janggal sekali karena mereka berdua adalah bayi yang belum seharusnya memberi ekspresi seperti itu.
Namun, segala pikiran berisik dalam kepala kecil Solar mendadak diredakan oleh suara familiar yang sekali lagi menyapanya halus.
'Solar, jangan takut. Kamu tidak lagi sendiri sekarang.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
Fiksi PenggemarTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?