Solar terhuyung ke belakang sedikit, ketika seluruh beban tubuh Duri menimpanya. Kakaknya itu kesulitan mengatur napasnya, sesekali terbatuk, dan darah segar keluar menodai baju lusuh yang melindungi tubuh kurus si bungsu.
"... kenapa...Solar..?"
Memilih tidak menjawab, Solar hanya menarik paksa mahkota penobatan yang berada dalam genggaman lemas Duri, lalu membiarkan tubuh Duri jatuh begitu saja.
Solar tertawa.
Selama ia hidup sebelas tahun ini, sama sekali belum pernah ia rasakan adrenalin sehebat ini mengalir deras dalam tubuhnya.
Darah dimana-mana, mayat berserakan, properti pecah bertebaran. Indah sekali rasanya melihat istana yang biasanya didominasi warna putih suci, kini ternodai merah kental.
"Apa yang kau lakukan, Solar?" Halilintar menatap si bungsu ngeri. Bau amis yang menempel pada tubuh kurus Solar menusuk tajam indera penciumannya dan membuat Halilintar makin tak nyaman melihat si bungsu mendekat.
Tiap Solar mengambil satu langkah mendekati Halilintar, si sulung akan bergeser mundur, tetap mencipta jarak dengan si bungsu.
"Kamu sendirian, Kak Hali," ujar Solar. Suaranya sangat tenang, dan itu aneh di telinga Halilintar. Adik bungsunya lebih sering bersuara ribut dan ekspresif, tapi bocah di depannya ini surprisingly sangat tenang dalam keadaan sekacau ini, "aku sudah menghabisi lima adikmu yang lain, Kak Duri yang terakhir. Keluargamu dari pihak permaisuri juga sudah kulenyapkan, sama sekali bukan masalah besar. Dan ayah—"
Manik perak milik Solar melirik pada sudut ruangan, diikuti dengan Halilintar yang menoleh panik.
"—ayah juga sudah mati. Pasti senang sekali dia bisa bertemu lagi dengan istri-istrinya."
Solar menggenggam erat mahkota penobatan yang berhasil ia rebut dari Duri lalu meletakkannya perlahan di atas kepalanya.
"Aku..cocok juga ya, Kak, pakai mahkota ini? Kak Hali setuju, kan? Kalau umurku sedikit lebih dewasa saja, ayah pasti juga mempertimbangkan aku untuk jadi kandidat putra mahkota."
Halilintar menarik pedangnya. Kemarahan tampak makin jelas tergurat di wajah gusarnya, apalagi sejak ia melihat Solar memakai mahkota putih bersih untuk upacara penobatan yang kini ternoda oleh warna merah segar dari tangan si bungsu.
Adiknya sudah keterlaluan.
Si sulung harus mengambil tindakan secepatnya. Menghabisi Solar di tempat atau dia yang akan dihabisi Solar.
"Letakkan mahkota itu, Solar. Itu harta warisan milik kekaisaran, kau yang sekarang tidak pantas menyentuhnya."
Solar kembali tertawa. Kakak sulungnya ini gila. Hidupnya sudah di ujung jari Solar tapi ia masih lebih mementingkan harta benda kekaisaran yang sebentar lagi juga lenyap di tangan Solar.
Daripada mengkhawatirkan mahkota remeh temeh ini, harusnya Halilintar mengkhawatirkan hidupnya sendiri, kan?
"Kau mau mahkotamu, Yang Mulia Halilintar?" Sebuah senyum mengejek diulas bibir kering Solar, "langkahi dulu mayatku, baru kau ambil mahkota kebanggaanmu ini, Putra Mahkota."
Si sulung menggertakkan giginya marah. Kuda-kuda kokoh dipasangnya, ia siap tidak siap benar-benar harus mengakhiri kegilaan Solar, sebelum semuanya jadi lebih kacau lagi.
Pedang merah milik Halilintar menghunus tajam ke arah si bungsu. Tidak lagi ragu.
"Jangan mimpi, Solar," Halilintar menarik napas dalam-dalam, bersiap mengerahkan segalanya untuk menjatuhkan Solar, "kamu yang harusnya mengalahkanku kalau ingin rencanamu berjalan lancar."
Manik perak milik Solar menutup. Solar tahu, bagiannya berakhir di sini. Selanjutnya, dia akan memberikan semuanya untuk sang kakek. Biarlah kakeknya yang menyelesaikan semua hal yang menyakiti Solar di akhir-akhir hidupnya.
Solar tidak lagi menolak. Tidak lagi menyangkal.
"Selamat tinggal, Kak Hali. Selanjutnya, semua akan aku serahkan pada kakekku, Retak'ka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
FanfictionTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?