Solar tidak tahu, sudah berapa lama ia berada di ruangan dengan udara lembab ini. Indera perabanya tidak bisa mengenali ruangan yang ia tempati. Ada kemungkinan ia berada di tempat yang memang tidak pernah ia kunjungi.
Apa ia diculik?
Siapa yang menculiknya?
Kenapa pula?
Tidak mungkin, harusnya. Terakhir ia ingat mimpi terburuknya di ruangan permaisuri. Dan setelah itu ia tidak ingat apapun. Besar kemungkinan ia pingsan di sana.
Tapi, kenapa ia di tempat asing ini? Kenapa bukan kamarnya?
"Sudah berapa lama?" Suara serak lolos dari belah bibir kering Solar. Langkah kaki yang mendekatinya, berhenti mendadak. Tidak dekat, tidak jauh juga. Apakah ada penyekat di antara mereka?
"Ini jalan dua minggu, Yang Mulia,"
Ah, itu suara ksatrianya.
"Bawa aku keluar."
"Maaf Yang Mulia, pangeran Halilintar melarang saya,"
Solar mengernyit. Sejak kapan Halilintar bisa menginvasi ruang perintah Solar pada bawahannya sendiri, ini melanggar kekuasaan Solar maksudnya?
Baiklah.
"Apa saja yang aku lewatkan?"
Sang ksatria menarik napas dalam-dalam. Mungkin yang akan ia kisahkan bisa jadi terlalu berat untuk tuannya.
"Para pangeran mengalami luka-luka dan membutuhkan perawatan yang lumayan, meskipun tidak separah pangeran Halilintar. Lalu—"
"Lalu?"
"Yang Mulia Permaisuri meninggal."
Hening.
Solar jadi bisa mengira alasan Halilintar melarangnya keluar. Kakak sulungnya itu pasti melimpahkan seluruh sesalnya pada Solar agar bahunya lebih ringan.
Padahal, tanpa Halilintar melakukan itu, Solar telah dirundung rasa bersalah teramat berat sejak detik pertama ia mendapatkan kesadarannya lagi.
"Ini dimana?"
"Menara tua dekat taman istana utama, Yang Mulia."
Oh. Yang satu ini Solar cukup terkejut. Ia sudah mempertimbangkan lokasi tersebut, tapi tetap mengejutkan saat tahu faktanya. Agak bingung juga mengapa tanda si lehernya tidak menyengat lagi, padahal biasanya baru mendekati menara itu saja sudah sakit tidak karuan. Kenapa saat di dalam menara ia malah baik-baik saja?
"Apa yang ayah lakukan?"
"Yang Mulia Kaisar mengerahkan semua pasukan terbaiknya untuk mencari penjahat tersebut, sisanya tengah mempersiapkan upacara penobatan putra mahkota."
"Siapa yang jadi? Tetap kak Hali atau kak Gempa?"
"Pangeran Halilintar."
Sudah pasti Halilintar. Secara kecerdasan, kemampuan, dan bakat kepemimpinan, Gempa jelas jauh memimpin. Namun di sisi lain, Halilintar memiliki keuntungan sebagai putra sulung, putra pertama permaisuri, serta dukungan kerajaan tempat sang permaisuri berasal, dimana Gempa yang ibunya hanya rakyat biasa jelas tidak bisa menandingi hal tersebut.
"Supra,"
"Iya, Yang Mulia?"
"Bisa bawa aku ke lantai paling atas? Di sini lembab, aku butuh kehangatan matahari kalau memang penghangat ruangan dilarang,"
Supra diam sejenak. Ia tidak sempat menanyakan hal ini pada Halilintar, tapi harusnya tidak masalah, kan? Solar sudah begitu patuh untuk tetap berdiam diri di menara yang tidak layak huni ini, permintaan sepele seperti ini sepatutnya boleh dikabulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not the Crown Prince
FanfictionTidak ada yang pernah menyadari apa yang terjadi pada sang pangeran bungsu, Solar. Di mata semua orang dia selalu tampil baik-baik saja. Apakah benar begitu kenyataannya?