[1] Regresi

1.6K 250 11
                                    

Kim Dokja duduk bergeming, memakukan atensi pada perapian yang berderak di kamarnya, berpikir tentang kematian yang akan merenggut nyawa kecilnya sekali lagi.

Suhu di dalam ruang perlahan menghangat tapi tidak ada kehangatan yang serupa terpatri di wajah remaja laki-laki berusia lima belas tahun tersebut. Ketenangan bak salju beku masih menggantung di antara kedua alisnya yang berkerut samar, menampakkan sebait keresahan, seolah-olah sekali lagi dia harus meniti kehidupan di atas sebuah es tipis permukaan danau yang pada akhirnya hanya berakhir menenggelamkannya pada kesia-siaan atas upaya kerasnya sepanjang hidup.

"Tuan Muda, saya membawakan secangkir cokelat panas dari dapur." Suara ketukan terdengar dari daun pintu ruang istirahatnya, mendesak kesadaran Kim Dokja bergegas kembali.

"Masuklah," Kim Dokja berujar menanggapi, suara remajanya mengalun rendah, diiringi nada dingin yang mengandung ketidakacuhan, "letakkan di meja dan tinggalkan ruangan ini," tukasnya menajam.

Seorang pelayan wanita mendorong pintu perlahan, berjalan tanpa ketukan langkah gaduh yang tidak disenangi tuan mudanya. Tidak ada cahaya terang dalam ruangan itu, selain pantulan redup kobaran api di perapian dan bayangan tirai cahaya rembulan yang mengalir melalui jendela kaca. Diletakkannya senampan cangkir cokelat panas serta sepiring kue kering almond di meja, lalu menunduk hormat pada punggung yang tak pernah menoleh sedikit pun pada kehadirannya.

Punggung lelaki itu terlihat ramping dan rapuh, tetapi dia telah melayaninya sejak kelahirannya dan tahu bahwa itu adalah punggung yang sama yang selalu berdiri tegap menghadapi kecaman semesta.

"Saya berada di luar jika Tuan Muda membutuhkan saya." Pelayan wanita itu menutur lembut.

Dia lantas berbalik, berjalan keluar dengan emosi yang menggenang berat di dasar hatinya. Ditutupnya pintu perlahan, tanpa melepas pandangan dari sosok lelaki di dalam ruangan, terus menatap lekat hingga cahaya redup dari dalam ruangan benar-benar menghilang dari pandangannya. Pintu menutup tanpa suara.

Sudah tiga hari berlalu.

Tuan mudanya masih tak beranjak keluar dari kamarnya.

Ketika seharusnya di waktu yang larut anak lelaki itu telah terlelap dalam buaian mimpi, tetapi tidak lagi dengan hari-hari terakhir. Tuan mudanya selalu terjaga di antara sunyinya malam, duduk memandang perapian tanpa suara hingga kantuk datang membujuknya beristirahat.

Dalam tiga hari singkat, Aileen menemukan perubahan pesat dari sosok ramah tuan mudanya. Bak potret megah yang dalam semalam dirobek seketika, lantas tergantikan gambaran dingin yang menusuk. Seolah-olah Kim Dokja kecil yang diasuhnya dengan kehangatan paling tulus mendadak menjadi orang yang tidak lagi bisa dikenalinya. Lelaki itu hanya memandangnya seperti bagian yang paling jauh, membuatnya terasa begitu asing.

Aileen memejamkan mata, meletakkan tangan di dadanya seraya berdoa dalam hatinya agar Dewa selalu berbelas kasih dan memberikan tuan mudanya perlindungan serta kebahagiaan.

Kim Dokja tak ingin berbalik, tak juga mau menatap wajah yang amat dikenalinya. Melihat wajah pelayan pribadi sekaligus pengasuh setianya hanya akan menyeret kembali kenangan menyakitkan akan kematian tragis wanita itu di kehidupan lalunya.

Sudah tiga hari semenjak kebangkitannya kembali.

Kim Dokja tak tahu mengapa, tidak pula menemui alasan kuat meski telah merenung berhari-hari. Setelah kematiannya menjelang usia dua puluh lima tahun, bukan neraka yang datang menyambutnya, melainkan dunia yang kembali memutar waktu justru terhampar di depan matanya.

Jika ini ilusi, rasanya begitu sulit dipercaya ada kekuatan ilusi sekuat ini yang mampu memberinya detail kehidupan yang bahkan tidak dapat diingat oleh benaknya. Pun, andai ini mimpi, mustahil mimpi terasa sepanjang dan senyata ini. Tak peduli apa, Kim Dokja selalu yakin dia telah benar-benar mati saat itu.

[BL] Crimson Throne (JoongDok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang