[4] Tawaran Manis

895 160 5
                                    

Manajer itu menarik napas. Keseriusan di wajah remaja tersebut mendetakkan kegamangan luar biasa di hatinya. Tanpa penundaan dia menunduk dan izin undur diri. Sepagi ini, tuannya pastilah sedang menikmati suguhan teh di kediamannya.

Sepeninggal Manajer, seluruh restoran dijatuhi keheningan. Para pelayan yang tersisa tidak tahu harus bersikap bagaimana. Di satu sisi, wajah remaja itu tidak asing. Bukan sekali atau dua kali Kim Dokja pernah datang ke restoran ini. Namun, ini pertama kali mereka menyaksikan tiada di senyum di paras yang selalu mengguratkan kehangatan itu.

Lima menit adalah waktu yang singkat tetapi semua orang merasa seperti detik berlalu begitu lambat. Kim Dokja memejamkan matanya, menunggu dengan ketenangan yang justru membuat semua orang semakin cemas.

"Kau terlambat," gumamnya tak lama kemudian.

Diikuti perkataannya, kepulan api berwarna emas hadir menyala di tengah restoran. Dari dalam api berwujud entitas seorang pria berbusana hitam.

"Mohon maafkan keterlambatan saya," ujar pria berambut coklat keemasan yang membungkuk rendah penuh hormat.

Kim Dokja menilai penampilan yang sedikit berantakan, jelas pria ini tampak terburu mengganti pakaiannya sebelum datang menghadapnya. Tanpa mempersilakannya duduk, Kim Dokja memulai tujuannya.

"Selain Nirvana, semuanya tinggalkan tempat ini."

Tidak ada yang memberi bantahan. Semua bergegas menarik langkah pergi. Termasuk dua ksatria yang beranjak pindah menjaga di luar pintu restoran.

Nirvana selaku pemilik Restoran Bulan sedapat mungkin menjaga tingkah lakunya walau dalam hati dia mulai bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi di sini? Otak cerdasnya yang kerap memahami tindakan orang lain kini sepenuhnya dibekukan. Tak bisa menebak sama sekali. Belum lagi pakaian lelaki bangsawan di hadapannya begitu di luar dugaan.

Anak yang selalu terkenal patuh dan penyayang, mengapa tiba-tiba hadir dengan busana serba cerah di masa berkabung?

Kim Dokja memaku lekat pria berusia seperempat abad di dekatnya. Senyuman tipis akhirnya terukir di wajahnya. "Nirvana, apakah sudah cukup bagimu bersenang-senang?"

Alis halus Nirvana mengernyit samar. "Maafkan kekurangan saya tetapi saya tidak mengerti apa yang Tuan Muda maksudkan."

Ujung jari kanan Kim Dokja mengetuk meja dengan irama statis. "Butuh berapa banyak lagi rakyatku yang kau jual di Ibu Kota Kekaisaran baru kau mengerti?"

Riak di wajah Nirvana masih tidak berubah. Ketenangannya tetap terjaga sempurna. "Saya sungguh tidak mengerti apa yang Tuan Muda katakan."

Kim Dokja bersandar ke kursi. Dia tahu Nirvana tidak akan mengaku, dia juga tidak bisa menyeretnya ke Pengadilan Kekaisaran, biar dia punya bukti Kim Dokja enggan memberatkan pria ini.

"Ibundaku adalah wanita paling bijaksana yang kukenal seumur hidupku," gumam Kim Dokja mengangkat topik yang berbeda. Dibiarkannya Nirvana tetap berdiri di sana dalam diam. "Saking hebatnya dia, kakekku pun memberinya pengakuan. Semasa hidup, Kakek mendukung setiap keputusan Ibunda meski kudengar di masa lalu dia selalu menolak mendengarkan kata kedua putranya."

Itu mengartikan, mendiang Grand Duke pertama sangat menghargai menantunya dibanding putranya sendiri. Kabar ini sudah menjadi rahasia umum. Itulah sebabnya ibu kandung Kim Dokja bisa menjabat posisi Grand Duchess tanpa banyak perlawanan.

Sayangnya, kakeknya meninggal dua tahun lalu.

"Ibunda punya banyak sekali celah sepeninggal Kakek. Tak sedikit keluarga pengikut yang mulai menekannya, menuntut bahwa keluarga kami membutuhkan seorang kepala keluarga yang bisa diandalkan."

[BL] Crimson Throne (JoongDok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang