Entah ke mana Madame mengajak Naren malam itu. Yang jelas, wanita bertubuh besar itu membawa serta Kiky dan dua anggota lain dari klub bertarung. Yang pirang kuncir dua bernama Megan, sedangkan yang membawa skateboard namanya Nia.
Selepas keluar dari subway, kelima perempuan ini berjalan di trotoar yang sepi. Wajar saja, arloji kuning di pergelangan Nia menunjukkan pukul 23.40. Distrik ini sudah pulas tertidur. Setidaknya, itulah yang tampak.
"Madame akan membawa kita ke mana, ya?" tanya Kiky kepada Naren.
Yang ditanya merespon tanpa senyuman selayaknya yang tercetak di wajah manis Kiky. "Mana aku tahu."
Nia dengan santainya masuk ke dalam pembicaraan dua gadis ini. "Madame hendak menunjukkan tempat kerja kepada kalian." Ia berbalik dan berjalan mundur agar menghadap Naren dan Kiky. "Kalian pasti berdebar-debar."
"Apakah kau dulu juga berdebar-debar saat pertama kali ditunjukkan tempat kerja, Nia?" tanya Kiky antusias.
"Oh, tentu saja tidak. Aku sangat santai." Nia melebarkan senyumannya sehingga tampak barisan giginya.
Memasuki gang gelap, kelima perempuan ini harus berjalan berurutan karena sempitnya gang yang mereka lalui. Di balik pintu rahasia yang dijaga oleh seorang pria besar, tempat remang-remang itu membuat Naren sadar bahwa bagian terburuk mengikuti klub bertarung bawah tanah ada di hadapannya.
Dua orang pria tengah bertarung di ruangan yang cahayanya hanya dari lampu gantung bertenaga rendah di tengah langit-langit. Sekumpulan pria urakan mengelilingi keduanya, berteriak girang saat salah satu petarung mendapat pukulan dari yang lain.
"Kau terlambat, Madame." Pria berjas biru menghadang sang wanita. Namun, raut wajah yang ditampilkannya bukanlah wajah kesal ataupun dendam. Nampaknya, dia cukup akrab dengan Madame.
"Apakah giliran anakku sudah lewat?" Madame membalas.
"Belum. Giliranmu setelah pertarungan ini."
"Kalau begitu, kita belum terlambat," ringkas Madame. "Ayo masuk dulu, anak-anak." Wanita itu lalu memasuki ruangan yang pintunya ditulisi huruf F dengan cat semprot warna putih.
Begitu pula keempat anak buah Madame, mengikuti sang induk di belakang. Tak lupa, Nia mengacungkan gestur pistol sambil mengedipkan satu mata kepada pria berjas. "Kau keren seperti biasanya, Mr. Brandon."
"Uhh ... namaku bukan Brandon."
Di dalam ruangan, ada beberapa wanita lain yang berkumpul dalam masing-masing meja. Madame mengambil tempat di pojok dan menyuruh anak-anaknya duduk.
"Jadi, di tempat seperti inilah kita bekerja," tutur Madame. "Akan kujelaskan sistemnya kepada kalian berdua." Ia melihat Naren dan Kiky.
"Di sini, tidak ada sistem menyerah. Petarung harus terus baku hantam hingga ada yang pingsan atau cedera berat.
"Kalian akan dapat uang banyak jika menang. Bila kalian kalah, kalian juga tetap dapat uang, tetapi nominalnya lebih sedikit, dan juga dipotong biaya perawatan kalian di rumah sakit."
"Jadi, kita akan bertarung malam ini?" tanya Kiky dengan mata berbinar, bersemangat.
"Tidak." Madame mengetukkan jarinya di atas meja. "Malam ini, yang bertarung adalah Megan. Aku mengajak kalian berdua agar kalian kenal dengan pekerjaan kalian."
Naren menoleh ke arah Megan yang tak duduk, tengah bersiap-siap dan melakukan pemanasan. Dilihat seperti itu, Megan berkata dengan nada tinggi, "Apa?"
Tak merespon dengan kata, Naren kembali mengarahkan wajahnya kepada Madame. "Apakah kita akan ditonton oleh pria-pria itu?" ia kemudian bertanya.
"Benar. Aku lihat di sana, penontonnya hanya laki-laki. Tidak ada perempuan," timpal Kiky.
"Memangnya perempuan mana yang suka melihat sesamanya baku hantam?" jawab Madame ringan. "Kalian tidak perlu malu. Mereka yang membayar kalian untuk saling adu pukul. Sebagian orang memang otaknya agak miring, rela membayar mahal untuk melihat orang berkelahi."
"Ya, lama-lama, kalian akan terbiasa," sambung Nia.
"Hey, Madman, kau tidak membawa monster peliharaanmu?" seorang wanita yang rambutnya disemir putih bicara kepada Madame dengan nada sarkas.
"Oh, Blair Gila ternyata datang juga. Siapa yang kau jagokan?" balas Madame sambil tersenyum kecut.
"Dia sudah bersiap di arena. Bagaimana dengan anakmu? Kau mau menurunkan Miku pirang itu?"
"Siapa yang kau panggil Miku pirang?" Megan mengangkat suara.
Untung saja Madame menghalangi gadis berkuncir dua itu saat ia hendak maju dan memukul. "Tidak perlu berkelahi di luar arena, Megan. Ingat?"
Megan menghela napas. "Baik, Madame."
"Kenapa? Kau mau memukulku, Miku pirang?" Wanita yang dipanggil Blair Gila melakukan gestur memanas-manasi.
"Dia tidak akan memukulimu, tetapi dia akan memukuli anak buahmu itu sampai babak belur, Blair," bela Madame.
"Kita lihat saja." Blair menelengkan kepala seraya memasang ekspresi sombong.
Selesai pertarungan dua pria tadi, pria berjas melangkah ke tengah arena. Dengan mikrofon wireless di tangan kanan, ia mengumumkan, "Saudara-saudara, ini saat yang kita tunggu-tunggu. Pertarungan selanjutnya adalah pertarungan kelas wanita. Apakah kalian bersemangat?"
Pria-pria bersorak dengan beringas, seakan-akan menggetarkan tempat sempit itu.
"Kalau begitu, sambutlah! The Cat Nap dan The Punch Girl!"
Megan keluar dari ruangan bersama Madame dan ketiga gadis lain. Wanita bernama Blair bersama anak buahnya juga keluar dari ruangan, hendak menonton performa anaknya yang dijuluki The Cat Nap.
The Cat Nap sendiri sudah siap di arena, melirik Megan yang masuk dengan tatapan sinis. Ia membuat loncatan-loncatan kecil, mempersiapkan kelincahan tubuhnya.
"Heh, apa yang kau lakukan itu? Meloncat seperti kelinci yang horny?" Megan yang telah masuk di arena menyalakan kompor.
"Kau tidak akan bisa berkata seperti itu lagi karena aku akan menghancurkan mulutmu," jawab The Cat Nap dengan suara rendah.
"Oh, si kelinci berlagak sok kuat." Megan mengepalkan tangan yang sudah dilapisi sarung tangan. "Ini membuat buku-buku tanganku tak sabar memukulimu."
~ (*) ~
Yang muncul di bab ini:
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗙𝗶𝗴𝗵𝘁 𝗖𝗹𝘂𝗯: 𝗡𝗼 𝗕𝗼𝘆𝘀 𝗔𝗹𝗹𝗼𝘄𝗲𝗱
ActionWARNING (18+) [Mengandung kekerasan, kata-kata kasar, aurat terbuka, dan konten sensitif] Some fight for money. Some fight for passion. Some fight for life. Some fight because they are just bad.