PERINGATAN, cerita ini mengandung kekerasan, kata-kata kasar, aurat yang terbuka, dan konten yang sensitif bagi golongan tertentu. Cerita ini mungkin tidak layak bagi beberapa pembaca.
~ (*) ~
Sabtu malam, hujan turun menyirami kota. Antara jalanan urban New York yang becek dan lampu toko yang masih belum tutup, gadis berambut hitam pendek berjalan di bawah payungnya yang juga hitam. Narendra namanya, mirip nama laki-laki. Bahkan tak jarang orang salah menyangka ia laki-laki, sebab selain nama, postur tubuhnya cukup maskulin serta wajahnya tampan berkacamata.
Dinginnya malam tak menembus jaket kulit yang melapisi tubuhnya. Tas gantung hinggap di bahu, sementara di tangan kanan, ada secarik kertas berisi alamat yang tengah ia cari.
Sampailah ia di tempat yang tertulis di kertas tersebut, Bar The Great Bass. Cahaya kuning berpendar dari jendela kaca, menunjukkan sinar lampu di dalam. Di sana, ramai orang-orang mabuk, entah apa yang mereka lakukan.
Naren mengecek kembali kertas alamat. Pergilah ke belakang lewat gang di kiri. Turun di tangga dan masuk ruang bawah tanah, gadis itu membaca tulisan kecil di kertas yang ia pegang dalam hati.
Kaki yang mengenakan sepatu kets hitam putih melangkah ke arah yang ditunjukkan. Memasuki lorong ke bawah, si gadis menguncupkan payungnya. Dengan langkah tenang, ia turuni tangga itu menuju tempat tujuannya.
Baru saja ia melewati pintu besi, masuk ke dalam ruangan remang-remang yang samar-samar bau pengharum ruangan aroma jeruk yang digantung di kipas angin, mata hitamnya di balik kacamata disambut pemandangan gadis berambut pink terang yang dikuncir dua tengah meregangkan lengannya ke atas, melakukan pemanasan.
Kaus putih pendek bermodel crop top menjadi pembungkus tubuhnya yang atas sementara rok pendek berwarna senada dengan rambutnya menjadi pakaian bagian bawah. Saat ia mengangkat lengan, perutnya yang langsing menjadi terekspos, bahkan sport bra warna biru yang ia kenakan hampir bisa diintip.
"Hai, kau anggota baru juga?" Ucap gadis itu dengan senyum lebar ditampilkan bibir tipisnya.
Belum juga Naren mengucapkan apa pun, gadis yang kelihatan sangat ramah itu menghampiri Naren. Tampaklah perbandingan tinggi dua perempuan ini lebih dari dua puluh sentimeter. Tentu saja Naren yang lebih tinggi.
Si rambut pink memotong jarak antara keduanya hingga sekitar setengah depa, sampai-sampai aroma parfum stroberi yang dipakainya tercium oleh gadis yang didekati. Naren merasa ini terlalu dekat, mengingat mereka belum saling kenal.
"Namaku Kiky. Senang bertemu denganmu. Ayo kita berteman!" Tangan halus miliknya ditawarkan kepada Naren, berharap gadis maskulin itu menyambut ajakannya bersalaman.
Naren menghela napas. Sepertinya, berada di tempat ini akan sedikit sulit. Pasalnya, ia tak mengharapkan ada gadis yang mirip Pinkie Pie di tempat remang-remang seperti ini.
Dengan berat hati, Naren menepuk telapak tangan Kiky seraya berucap singkat, "Narendra." Selanjutnya, ia berjalan menuju loker yang besinya telah berkarat seakan-akan eksistensi gadis dihadapannya ini hanyalah ketiadaan.
"Hei, kau dingin sekali," komentar Kiky seraya mengikuti Naren. "Jadi, apa yang membuatmu bergabung di sini?"
"Bisakah kau berhenti?" Mata hitam itu melirik si gadis yang bertanya. Nada respon ini menunjukkan bahwa yang ditanya tidak ingin dicampuri urusannya.
"Hei, apa ada yang salah? Aku hanya ingin berkenalan," jawab Kiky sambil menjauh sedikit.
Mengabaikan Kiky, Naren membuka salah satu loker kosong dan meletakkan tasnya di sana. Tak lupa, jaket dan kacamata yang ia kenakan dilepaskannya pula, menampilkan figur perempuan maskulin yang ideal dan sedikit berotot. Walau tak ditunjukkan secara langsung, bentuk tubuh Naren yang terbungkus kemeja putih dapat ditebak melalui postur perempuan 20 tahun tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗙𝗶𝗴𝗵𝘁 𝗖𝗹𝘂𝗯: 𝗡𝗼 𝗕𝗼𝘆𝘀 𝗔𝗹𝗹𝗼𝘄𝗲𝗱
AzioneWARNING (18+) [Mengandung kekerasan, kata-kata kasar, aurat terbuka, dan konten sensitif] Some fight for money. Some fight for passion. Some fight for life. Some fight because they are just bad.